Senin, 02 Mei 2016

ikhlas

Dari dulu diajarin nyokap buat jujur, hargain orang lain, berbuat baik, tolong menolong, sedekah dan beramal. Semua aku lakuin walo balesannya kadang sebaliknya bahkan sangat menyakitkan hati. Sempat terpikirkan untuk berhenti melakukan kebaikan, berubah jadi manusia yang seperti mereka, yang notabene bertindak seperti bukan manusia, tak berotak, tak berhati. Namun sayangnya sekeras apapun merubah diri, tetep aja ga tega menyakiti hati orang lain.
Kenapa mereka bisa dengan lempengnya berbuat demikian? Apakah sekedar menghargai saja merupakan hal yang sulit?
Atau mereka bisa timbul alergi, gatel2 kalo jujur, kalo menolong, ato membahagiakan orang lain?
Bukankah lebih baik tidak usah membalas apapun, ketimbang melakukan hal yang menyakitkan untuk membalas kebaikan?
Selalu aku bertanya tanya dalem hati.
Kenapa?
Kok gini?
Kok bisa?
Mengapa tega?
Harusnya mereka tuh gini.. Mestinya mereka blabla..
Akhirnya satu hal yang bisa aku petik, bahwa kita tak akan merasakan sakit, tidak akan kecewa ataupun sedih, kalo apa yang kita lakuin itu semuanya IKHLAS. Ga ngarepin apa apa, ga ngurusin apa yang dilakuin balik sama mereka atas tindakan positif kita, ga memikirkan apa yang didapat kalo ngelakuin ato ngasih sesuatu buat orang lain.
Karena apapun timbal baliknya, itu urusan mereka. Selama kita ikhlas dan memberi yang terbaik, kita sudah benar.
Walopun merasakan kepedihan, itu tidak akan lama.. yang butuh waktu lama itu hanya keikhlasannya karena memang bukan hal mudah..
Sungguh, aku ngerasain, gada beban walopun tidak dihargain sama sekali. Ketulusan itu memang bermanfaat besar buat hati. Nah klo kamu skarang berduka karena khianat, dusta, ditinggalkan, terabaikan atopun celaan, pastikan dalem hati, niat kamu ikhlas ga skarang? 😊

Sabtu, 12 Maret 2016

up to you

Hati yg disana mungkin hanya memikirkan dirinya sendiri. smentara disisi lain ada hati yang memikirkan orang lain, dari bagaimana cara membahagiakannya, sampai hal hal seperti apalagi yang bisa membuatnya tetap nyaman tanpa kernyitan dahi skalipun.
Yah, dari dua sudut pandang akan melihatnya sebagai kebodohan yang bersanding dengan ketulusan. Ibarat dua sisi mata uang.
Bukan masalah apa pandanganmu, yang paling penting adalah apa respon kepala dan batinnya terhadap mata uang ini. Apakah "masa bodoh, aku hanya ingin ber-ego" atau jika beruntung, "dia anugrah, sudah selayaknya aku menjaga hadirnya".