Sabtu, 20 Desember 2014

I Love My SuperBoy




Jam 3.30, pelajaranpun selesai. Sebagian besar murid mungkin pulang, tapi tidak denganku dan siswi-siswi centil yang bertujuan sama denganku, menyaksikan Satria berlatih maraton. Namun lagi-lagi aku selalu kalah cepat sama yang lain. Pasti aku selalu dapet barisan paling belakang dikerumunan mereka dilapangan.
“Hahaha Nia, kamu ketinggalan lagi ya..” Seru Icha, sahabat karibku disekolah dari kejauhan. Sayangnya doski suka banget ngejekin aku.
“Ah Ichaaa udah jangan rese deh. Sebal!,” Kutekuk mukaku sambil berdiri dibarisan belakang. Aku memang terkenal dengan julukan ‘slow girl’ di sekolah, bahkan dirumah. Eh, dimana aja deh kayaknya! Melakukan apapun serba lamban, aku yang duluan keluar kelas, tapi aku yang terakhir sampe ke lapangan.
Iya, Kurnia Dwiyanti itu lamban, nggak seperti anak-anak yang lain. Sejak kecil melakukan apapun selalu yang terakhir diantara yang lain. Baik itu lari, makan, mandi. Semua selalu meneriakkan kata,”Niaaaa buruan...” atau “Niaaaa cepetaaann...” dan “Niaaaa cepet dikit kenapa sih?!” Bosen! Tiap hari adaaa aja yang gak pernah sabar nungguin atau nerima kekurangan aku satu ini.
Meskipun begitu, aku gak pernah nyerah buat yang namanya dapetin Satria, Superboy dambaanku. Atlet lari yang begitu dikagumi gadis-gadis disekolah. Wajar aja, udah cakep, larinya cepet, pinter, cool lagi. Siapa yang gak mau coba? Apalagi cewek seumuran aku yang masih kelas 2 SMA. Bener-bener idaman cowok kayak Satria. Aku suka matanya yang tertuju langsung pada garis finish. Aku suka bayangannya yang begitu cepat melintasi lapangan. Dia seperti angin. Satria Pratama. Dia cinta pertamaku. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Tiba-tiba..
“EH EHH KAMUUU YANG KUNCIR KUDAAAA... AWASSSSS BOLAAAAA !!!”
Kudengar teriakan itu dari arah lapangan bola kasti dibelakang, dan saat kutoleh kebelakang, baru kusadari ada sebuah bola kecil yang dalam hitungan detik akan segera tertuju kearah wajahku.
“Aduh bagaimana ini? Aku lari juga percuma. Aku diem juga kena” Aku ngomong sendiri. Pasrah. Dan..
“BLASHHHHH...”
“BODOHHHHH HATI-HATI DONG JANGAN ASAL MUKUL BOLA !”
Kukenal suara itu. Satria ? Beneran Satria!  Ternyata dia mendengar teriakan orang tadi dan menangkap bola yang hampir menyentuh wajahku. Unbelieveble ! Gerakannya persis seperti cahaya kilat. Kesigapannya menghadang bola benar-benar cepat dan memukau. Kalo tahu kayak gini, aku mau setiap hari hampir kena bola asalkan ditolong sama Satria.





“Kamu juga hati-hati lah” Ujarnya padaku. Dia sempat melihatku beberapa detik, lalu berlalu meninggalkanku yang masih dalam posisi tangan menutup wajah. Perasaan campur aduk. Deg-degan, senang, semuanyaaa. God, thanks ya buat kejadian hari ini. Hihi.
***
Sabtu pagi, jam 08.15. Aku terlambat gara-gara gak bisa tidur mikirin kejadian kemarin. Untung sekolah cuma 10 menitan jalan kaki dari rumah.
“Tiiitt... tiiiiiitttt....” suara klakson motor memanggil. Sosok cowok keren membawa Ninja merah berhenti dan membuka helmnya dan ternyata dia Satria.
“Kamu yang kemarin dilapangan kan yah? Ayok sini ikut aku. Aku juga telat nih. Hayo buruu..”
Lagi-lagi gak bisa dipercaya. Ya Tuhan mukjizat apa lagi ini? Pagi-pagi udah dikirimin malaikat ganteng buat ngeboncengin aku. Sesampainya diparkiran aku segera mengucapkan terimakasih dan berlari menuju kelas.
“Hei tunggu, nama kamu siapa?” Satria berhasil menyusulku hanya dengan berjalan cepat, padahal aku lari tunggang langgang.
“Kurnia.. panggil aja Nia..”
“Nia aku suka kamu sejak pertama ngelihat kamu kemarin, kamu mau kan jadi pacar Satria?”
HAAAHHHH ??!!!!!Hahahahahahaha aduh aku mendadak pusing. Antara girang, gak percaya, ngos-ngosan, semuanya gabung. Satria sosok yang aku suka sejak kelas 1 ini malah nembak aku dalam keadaan tergesa-gesa seperti ini? Tuhan terlalu baik ya sama aku.
“Mau yah Nia, atau kamu gak suka jadi pacar Satria? jawab dong kita udah telat ini”
“Bu..bukan...aku suka kok. Suka. Suka banget sama kamu, ta.. tapi kan aneh”
“Aneh apanya? Aku serius. Jadi kita pacaran yah!”
“A..a..a...” aku gabisa berkata-kata. Terlalu terkejut sama semua ini.
“Mau bilang aku mau kan? Oke mulai sekarang Nia pacarku! Udah ya aku masuk kelas dulu dadah pacar!” Teriaknya meninggalkanku yang masih bengong. Aku harus cerita sama Icha. Dia harus tahu apa yang aku alamin ini.

“HAHAHAHA jadi Satria yang serba cepat, nembak Nia yang serba lamban? HAHAHA lucu lucu !!” Icha kembali menertawakanku saat kuceritakan kejadian kemarin pagi.
“Pasti kamu bahagia banget kan akhirnya cintamu gak bertepuk sebelah tangan lagi?
“Iya, masih sulit aku percaya, orang yang hampir 2 tahun aku sukai, tiba-tiba aja nembak kayak gini. Aaaaaa aku senangggg Ichaaa” kupeluk sahabatku yang nyebelin ini.









“SAYAAANGGG...” Satria memanggilku memasuki kantin. Semua mata tertuju padanya, lalu menoleh kearahku. Mendadak seisi kantin makin bising, heboh dengan teriakan Satria tadi. Cibiran-cibiran pedas terdengar begitu jelas ditelingaku. Ah masa bodoh, yang penting semua udah tahu, kalo Satria emang punya aku.
“Abis ini pulang bareng yah Nia sayang”
Aku hanya mengangguk malu. Ini kencan pertama kami sepulang sekolah. Seperti mimpi rasanya bisa nonton dan makan bareng Satria. Hal ini sudah kuidam-idamkan. Meski selama bersamanya aku benar-benar merasakan perbedaan kecepatan yang intens. Makna film yang kami tontonpun aku baru ngeh pas nunggu pesanan makan dihidangin, sedangkan dia cepat tanggap dari selesai film. Sekarang waktu makan bareng, aku masih ngeracik bumbu buat baksonya, eh dia udah selesai makan duluan.
“Kamu serba cepat ya sayang..” Gumamku kagum.
“Gak apa-apa kok, aku kalo makan emang cepet. Soalnya aku tipe cowok gak sabaran, kalo pelan itu rasanya buang-buang waktu. Aku serakah, apa-apa semuanya mau dikerjain, makanya suka cepat, gak bisa diem.”
Aku merasa makin minder mendengar ucapan itu dari mulut Satria. Apa mungkin pacaran denganku buang-buang waktu juga? Lalu kenapa dia mau sama aku?

***
Hari Senin ini, jadwalnya Satria kembali latihan maraton. Dia mengingatkanku untuk selalu melihatnya berlatih, katanya aku ini semangatnya, jadi baik latihan atau perlombaan, aku harus datang.
“YAANGGG LIAT AKUUU...”
Satria berteriak sambil berlari dilintasan dengan maksud memamerkan kecepatannya berlari. Dia begitu keren dengan keringatnya yang mengucur dari sela rambut mengalir turun ke pipinya. Aku masih gak percaya dia sudah menjadi superboy-ku sekarang.
“Heh.. kamu pacarnya Satria kan? Ada yang perlu dibicarain sebentar keruangan saya.” Tiba-tiba pelatih maraton Satria nyamperin dan berkata seperti itu.
“HAH? Aku disuruh berhenti pacaran sama Satria?”
“Sejak dia pacaran sama kamu, kecepatannya berlari jadi kacau, malah makin menurun. Sering bolos latihan, alasan inilah, itulah. Pokoknya demi kebaikan Satria, lebih baik jangan dekati dia lagi dulu.”

Gak bisa kalo kayak gini. Apa hak dia ngelarang aku sama Satria pacaran? Tapi aku egois kalo maksain kehendak. Satria harus bisa mencetak rekor lari maraton tercepat demi prestasinya dan reputasi sekolah. Tuhan, masa secepat ini aku harus berpisah darinya?








“Ah gile aje tuh pak Ibnu. Apa-apaan. Mana bisa seenak jidatnya ngatur-ngatur!” Icha sewot banget waktu aku ceritain semuanya.
“Udah Cha, emang bener kata dia. Aku udah jadi penghalang buat masa depan Satria. Biarlah aku mundur untuk saat ini, jodoh udah diatur Allah..”
“Tapi, Nia..”
“Ini keputusan aku. Tolong hargai Cha.” Aku tersenyum paksa dihadapan Icha, demi menutupi kesedihanku. Dan hari ini juga, aku temui Satria diruang OSIS dan mengutarakan semuanya.
“Apa?? Kenapa cepet banget kamu bicara kayak gini?? Salah aku apa??”
“Kamu gak ada salah, kamu tahu sendiri kan aku orangnya lamban, kalo aku harus selalu menyamai kecepatanmu aku capek, Sat. Maaf..”
Satria memandangku kesal. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam padaku setelah aku katakan semua itu.
“Sudah kuduga bakal kayak gini. Selalu saja semua orang ngomong yang sama. Katanya mereka pengagumku, tapi memandang aku terlalu hebat. Saat latihan juga begitu, yang lain kecapean dan selalu aku sendirian didepan”
“Satria.. maaf..”
“Hanya kamu yang aku pikir beda dari mereka! AKU PIKIR KAMU AKAN TETAP MENGIKUTIKU SAMPAI KAPANPUN SEBERAPAPUN CAPEKNYA! Tapi aku salah. Benar-benar salah duga...”
Ia pergi dan berlalu dengan menundukkan kepalanya. Astaga, aku baru menyadari betapa bodohnya aku. Dia selalu berlari sendirian, dan aku selalu ditinggal sendirian. Kami sama-sama kesepian, dalam kesendirian yang sama.. Ya Tuhan.. Aku benar-benar salah telah mengucapkan kalimat tadi. Aku menyesal...

***
Kucurahkan penyesalanku sama Icha melalui handphone. Aku menangis sejadi-jadinya. Sakit, aku melakukan ini demi kebaikan Satria, tapi malah kulakukan dengan cara mengecewakannya. Icha hanya menyabarkanku. Menyuruhku untuk berhenti menangis. Dia bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
“Oh iya, besok lomba maraton antar SMA, Satria jadi unggulan sekolah kita. Dia bakal ikutan lomba. Kamu harus nonton ya, buktiin kalo kamu masih peduli sama dia”
“Nggak aku gak berani liatin muka depan dia. Dia pasti benci sama aku”
“Kok ngomongnya gitu? Katanya nyesel, katanya sayang, ya kamu harus nonton buat buktiin itu semua, terus minta maaf sama dia”
“Aku pikir-pikir lagi ya”








Iya aku memang memikirkannya. Aku bingung. Aku masih sangat menyayangi dia, tapi apa mungkin Satria mau memaafkanku? Aku juga pengen ngeliat dia bertanding. Saat dia berlari adalah masa-masa terbaik darinya yang selalu aku lihat dari dulu. Aku begitu mengagumi sosoknya yang berlari itu. Berarti aku harus menyaksikannya besok.

Kamis pagi, jam enam tepat, aku sudah berada dilapangan sekolah. Aku sengaja bangun pagi-pagi banget mempersiapkan semuanya. Aku gak mau ‘slow girl’ ini ketinggalan lagi buat nyaksiin ‘superboy’ beraksi dilapangan. Meski aku udah berhasil berada dibarisan paling depan diantara kerumunan siswi-siswi pengagum Satria, tapi hati kecilku masih bercampur rasa malu dan takut ia mengacuhkanku atau pura-pura tidak melihatku.
Tepat pukul tujuh pagi, perlombaan laripun dimulai. Kudengar pengeras suara menyerukan aba-aba untuk para peserta. Kucari-cari sosok Satria disana. Ada! Dia yang paling tinggi, paling gagah, dan paling tampan. Kini aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Ingin kuteriakan kata-kata penyemangat seperti yang lainnya, tapi apa daya aku tak sanggup. Kulihat dirinya diposisi paling depan dari yang lain, seperti biasa. Namun anehnya, mengapa ia seakan berlari menuju arahku? Gak mungkin. Tujuannya pasti menuju garis finish, bukan aku.

“YAAA NOMOR PUNGGUNG 01 ATAS NAMA SATRIA PRATAMA BERHASIL MENCAPAI GARIS FINISH DIURUTAN PERTAMA...!!”
Spontan aku bersorak kegirangan mendengar juri meneriakkan dengan jelas bahwa satria adalah pemenang. Eh tunggu, tapi kok, Satria tetap saja berlari? Loh kok sepertinya berlari kearahku? Mukanya marah, kesal. Aduh benar, dia berlari menghampiriku. Harus gimana ini? Apa dia mau memarahiku lagi? Aku harus segera berlari meninggalkan kerumunan. Niatku meminta maaf tiba-tiba lenyap.
“KURNIAAAAAAAA TUNGGUUU AKUUU !!!”
Makin ketakutan aku mendengar teriakannya. Aku berlari makin kencang, tapi lagi-lagi dengan kecepatan supernya, dan aku yang benar-benar lamban, dia berhasil menggapaiku dan menarik lenganku.
“Kamu mau kemana, Nia?! Dasar Bodoh! Kenapa kamu gak bilang semua gara-gara pak Ibnu?”
Aku kaget. Darimana Satria tahu hal ini? Pasti Icha yang ngasih tahu semua ini ke dia. Lalu pak Ibnu menghampiri kami yang masih sama-sama dalam keadaan tegang.
“Wow Satria kamu tadi hebat sekali mencetak rekor baru!”
“Ini semua karena Nia, pak! Dia bukan penghalang buat aku, justru dialah tujuanku, garis finish-ku! Bapak gak ada hak menghakimi Nia dan mengurus hubunganku!”
“Benar pak, lihat buktinya, Satria memenangkan pertandingan kan?” Tiba-tiba Icha datang sambil menyahuti perkataan Satria.






“Kalian ini...Hah..!! terserah..!!” Pak Ibnu pergi dengan muka datarnya. Dia seakan tak menerima semuanya.
“Nia, aku sayang sama kamu. Percaya, dengan kita bersama, nggak ada lagi kata kesepian, nggak ada lagi kata sendiri...”
Kupeluk tubuh Satria yang dipenuhi keringat itu. Maafin aku sayang, aku janji gak akan pernah ninggalin kamu dalam sepi, gak akan lelah mengejarmu dan menemanimu, meski dengan keterbatasan ini. I love you, my-superboy...



***







The Miracle Of Rain





Rintik hujan jatuh dibawah langit mendung kota Bogor.
          Aku mendengus kesal dan segera menutup semua jendela kamarku. Kunyalakan AC untuk menyegarkan udara disekitar, mematikan TV, lampu dan semua alat elektronik lainnya. Aku berbaring diam, membelakangi jendela yang kututup tadi.
          Diluar, hujan turun semakin deras. Kini suasana yang tadinya begitu hening, mendadak berisik lantaran sambaran petir yang seakan berlomba-lomba mendatangi rumahku, dan langitpun semakin menghitam.
          Bukan hanya ventilasi kamar yang kututup, tapi kedua telingakupun ikut kusumpal dengan jari-jariku. Kupasang kerut didahiku sambil menutup mata, seperti nenek-nenek yang sudah menua. Aku merasa semakin menggila sendiri dikamar bercat krem ini. Kutarik selimutku hingga menutup semua mukaku, lalu bersembunyi dibaliknya.
***
Sudah lama aku membenci hujan, sangat tidak menyukainya. Bagiku hujan itu malapetaka, kesialan, membuatku merasa makin sendirian. Entah mengapa aku bisa berpikiran seperti ini.
Ican, teman satu kampusku dari jurusan psikologi mengatakan, mungkin ini disebut phobia. Aku phobia hujan. Phobia ini timbul akibat ketakutan dari trauma masa kecil atau masa laluku. Entah apapun maksudnya itu, aku bahkan sudah lupa sama sekali akan masa kecilku, itupun kalau memang ada suatu trauma didalamnya. Soalnya yang aku ingat, saat kecil adalah masa bahagia dihidupku tanpa rasa cemas ataupun takut.







         

Mungkin benar apa yang Ican katakan, terutama soal teori Freud, bahwa manusia seperti kita hanya bisa mengingat kejadian-kejadian saat berusia tiga tahun, dan manusia lebih sering memilih untuk melupakan kejadian yang tidak menyenangkan dari memori masa lalu kita. Entahlah.
Aku bersyukur deh gak ngambil jurusan kuliah yang sama seperti Ican, jadi aku gak perlu memikirkan hal-hal yang seperti itu buat dipelajari detail. Teorilah, Freudlah, phobialah, atau apalah itu. Pokoknya yang aku tahu, aku membenci yang namanya hujan, titik.

***

          Hidupku sekarang bisa dibilang suatu kebetulan yang tragis ya. Eh, kebetulan gak sih? kata orang sih, sudah rencana Tuhan.
Seorang Melani, yang begitu membenci hujan, malah tinggal dikota yang dijuluki Kota Hujan, Bogor! Aku cuma bisa nahan kekesalan saat setiap teman-teman atau keluargaku meledek. Malah aku disuruh tinggal digurun pasir, sarap!
          Nih kebetulan miris lainnya, aku malah masuk universitas wilayah Depok, tetangganya si Bogor, yang sering disebut Kota Petir karena jumlah petir terbanyak sepanjang tahun diseluruh dunia. Baca lagi deh, seluruh dunia loh! Bayangin, sang hujan dan petir yang diibaratkan saudaraan, gak bisa jauh, dimana ada hujan disitu ada si petir menari-nari. Ini benar-benar parah buat aku. God, nasibku gini banget ya.
          Dari kebetulan-kebetulan ini, Ican memberiku kembali sebuah teori psikologinya. Katanya justru dengan adanya aku disini, bisa membantu aku untuk menghilangkan kebencianku terhadap hujan dan saudara-saudaranya itu. Hal ini disebut dengan istilah flooding self, dimana kita mengatasi phobia akan sesuatu dengan berkutat pada sesuatu yang kita benci sebanyak-banyaknya dan selama mungkin sampai berada dititik batas.
Kalau aku tidak suka hujan, maka aku harus berhujan-ria. Kalau aku tidak suka petir, aku harus mendengar petir sampai gendang telingaku pecah!






Hahaha, teori yang bagiku sangat-sangat aneh dan aku rasa Ican mulai gila dengan menyuruhku melakukan hal-hal itu.

***

          Aku pejamkan mataku, namun masih dapat kulihat seberkas cahaya-cahaya putih yang terkadang muncul tiba-tiba memantul disudut-sudut kamar. Kilatan itu beriringan dengan suara "cetarrr...!!"
Sial. Situasi seperti ini begitu menyiksa. Aku tindih mataku dengan bantal guling kesayangan, karena bagiku memejamkan mata saja tidak cukup. Kuharap ada yang bisa menolongku dari semua ini.
          "Kamu gak lagi tidur kan, Mel ?," tiba-tiba ada suara yang gak asing.
          Nahkan bener, si Ican udah duduk dikursi tepat disamping jendela yang kututup tadi.
          "Udah tahu, pake nanya!," sahutku ketus karena suasana ini.
          "Ya iyalah tahu, gak mungkin kamu bisa tidur dengan situasi yang gak banget buat kamu ini," Ican menjawabku dengan nada menyindir.
          "Ya udah, gak usah sewot. Aku males banget deh ngapa-ngapain kalo lagi kayak gini."
          "Kamu ini, segitu bencinya yah sama si hujan, dia kan gak ada salah sama kamu.. kasian si hujan.."
          Entah mau meledek atau menghibur, aku sedikit tersenyum mendengar celetukan si Ican barusan.
          "Kamu benar-benar harus diterapi, Mel..," lanjutnya sambil mencubit hidungku.
          Jangan heran dengan tingkah Ican, kami sudah bersahabat sejak kecil. Jadi mama santai aja kalo Ican main kerumahku. Malah menyuruh Ican buat masuk kekamar.








Agak gak lazim sih memang, tapi bisa kalian banyangin kan, seakrab apa hubungan aku, keluargaku, dengan Ican dan keluarganya? Aku rasa gak akan ada hal-hal negatif yang terjadi diantara kami meski berlainan jenis.

***

          Minggu sore, langit Bogor kembali gelap, seolah sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan serbuan air hujannya.
          Rencana nonton Taken 2 bersama Ican sepertinya harus aku batalkan. Kesal sih, tapi gak mungkin buat seorang Melani Ayuditya untuk pergi dengan situasi yang paling dibenci.
          Kuputuskan untuk menghubungi Ican, menunda semuanya besok, itupun kalau filmnya masih ada.
          "Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada diluar jangkauan...," Malah suara ini yang kudengar berkali-kali saat mencoba menelepon Ican. Sms semuanya pending.
BBM pun gak ada yang terkirim. Kan gak enak kalau Ican sudah kesini hujan-hujanan tapi ujungnya batal pergi.
          Benar kan, hujanpun turun dengan derasnya beserta pasukan petirnya susul-menyusul. Gak tahu kenapa malah jadinya bete sendiri gak jadi pergi sama sahabatku satu-satunya ini.
          Tanpa diduga, HP ku berdering. Panggilan itu dari nomor yang daritadi gak bisa dihubungi. My-Ican. Begitulah namanya dikontak HP dan BBMku.
          "Ha..ha..halo...," suara lemah dan parau itu terdengar dari seberang sana, membuatku lupa untuk memarahi sang empunya nomor.
          "Ican?," Aku tak bisa sembunyikan kekhawatiranku saat mendengar suaranya yang tak biasa itu, "Kamu kenapa? Dimana sekarang? Kok suaranya gitu?,"














          "Tolong, Mel... Tolongin a..aku...,"
          Detak jantungku mendadak berdegup kencang, aku panik, "Aduh kamu kenapa can? Apaan sih tiba-tiba gini, gak lucu! Ada apa ini?"
          "Aku persis didepan komplek ka..kamu... Tolong, Mel... Aku ditabrak orang... Sa..sakiiitt...." suara Ican makin melemah dan merintih.
          "Hah? Ican yang bener ih kamu! Can...," suaraku makin melengking, kepanikan luar biasa aku rasakan, ditambah sambungan telepon terputus begitu saja.
          Dengan segera aku keluar kamar, turun kebawah dan membuka pintu rumahku. Rasa panik ini makin bertambah saat kulihat hujan dengan garangnya jatuh ke bumi.
"Aduh mampus deh!," Kutepuk dahiku sendiri. "Mama...mah... payung mana sih ma? Mamaaa..."
Seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi muncul dengan berlari-lari kecil, "Kenapa nak? Seumur-umur gak pernah kamu mencari payung?," tanya mamaku keheranan.
Aku tak menjawab apa yang mama tanyakan, aku merasa bukan waktu yang tepat buat menjelaskan semuanya. Diotakku saat ini cuma Ican dan Ican. Tanpa pikir panjang, untuk pertama kalinya, aku berlari kencang menerobos hujan, tanpa mau menunggu mama mengambilkan payung untukku.

***

          Aku merinding ketika tanpa kusadari butiran-butiran air hujan itu mulai menerobos keseluruh pakaianku. Pertama kali aku rasakan dingin yang menusuk, membasahi semua tubuh. Namun tak kuhiraukan semuanya, aku teringat rintihan Ican ditelepon tadi, masih terngiang-ngiang suara kesakitannya. Gimana kalau Ican parah? Gimana kalau dia sekarang kesakitan dan belum ada seorangpun yang menolongnya apalagi kondisi hujan seperti ini ? Semua hal buruk merasuki pikiranku, sama seperti hujan yang merembes menembus pakaian keseluruh badan ini.

          "Ayo, Mel... sebentar lagi sampai depan komplek... Terus maju, Mel.. Peduli setan sama hujan!," aku bergumam sendiri, meyakinkan diriku sendiri.






Sesampainya disana, aku melongo. Tak kulihat sosok Ican yang berlumuran darah dan sekarat seperti di film-film, atau mobilnya yang ringsek hancur berantakan. Gak ada!
Jangankan Ican, tak ada seorangpun disana berdiri atau beramai-ramai.
Lagi-lagi aku panik. Apa aku tadi salah dengar ? Apa Ican sudah digotong ambulance? Atau ditolong warga sekitar ? Semua pertanyaan beruntun berputar-putar dikepalaku.
Bodoh! Aku benar-benar seperti orang gila ditengah hujan, aku sekarang kehujanan dan hanya bisa bengong!.
          Secara mengejutkan, sebuah tangan menepuk pelan pundakku. Aku yang berdiri menunduk perlahan memalingkan wajah kebelakangku, dan kutemukan Ican! Dia sehat wal afiat tanpa luka sedikitpun. Benar-benar berbeda dari apa yang daritadi aku bayangkan. Mataku sedikit terbelalak.
          "Mel, maafin aku yah. Mungkin caranya terlalu ekstrim, tapi aku yakin kamu pasti bisa melawan kebencian dan ketakutan kamu terhadap hujan. Buktinya sekarang kamu berada disini Mel...," Ican menjelaskannya sebelum aku sempat meluapkan amarah, "Aku berharap dengan ini, kamu malah menganggap hujan itu memori yang indah buat kamu. Makanya aku sengaja
berbohong seperti ini..."
Aku menangis. Perasaanku campur aduk. Satu sisi aku sedih Ican membohongi aku, tapi disisi lain aku senang, dia benar-benar gak ada kekurangan sesuatu apapun.
          "Menurut Pavlov, ini disebut teori Operant Conditioning, jadi..."
          "STOP ! Jadi kamu ngelakuin ini semua cuma karena kamu mau praktekin teori-teori gila yang kamu pelajari itu? Kamu jadiin aku objek? Gila kamu, Can!,"
Aku menyela pembicaraannya yang belum selesai. Air mataku makin deras mengalahi hujan yang mulai berkurang menjadi rintik-rintik gerimis.
          Tiba-tiba Ican memelukku,
"Nggak, Mel... Aku ngelakuin semua ini, karena aku sayang sama kamu..."
Sebuah kalimat yang dahsyat, meluluhkan segala amarah yang tadi sudah diubun-ubun. Pengakuan yang membuat siapapun yang mendengarnya meleleh, termasuk aku yang selama ini membenci hujan. Apalagi semua itu keluar dari mulut seorang Ican, ia menyatakan itu dengan pandangan yang tulus, menunjukkan betapa ia peduli terhadapku lebih dari seorang sahabat.
          Aku menangis lagi, namun kali ini tangisan bahagia. Kupeluk Ican erat ditengah gerimis. Gak peduli sama teori apapun, sama teori siapapun, yang jelas aku senang, aku sangat menyukai Ican. Dan sepertinya, aku mulai menyukai hujan…

*TAMAT*

AKU JUGA MANUSIA BIASA





Dua jam sudah aku duduk  menahan rasa nyeri dibagian lambungku demi mendengarkan curhatan Sania, teman satu kelasku. Cewek itu terus menerus bercerita mengenai pacarnya yang katanya susah ditebak. Meski lapar, dengan sabar kudengarkan salah satu teman yang selalu mencurahkan segalanya kepadaku.
“Terus kemarin itu, Andi kayak ketus banget sama aku. Heran banget deh liat kelakuannya. Padahal aku sudah berusaha sabar sama dia. Sedih Ris..”
Masih sambil meremas perut yang belum sempat aku isi sejak pulang kuliah tadi siang, “Sabar ya, San.. kamu kan baru jadian sama dia, belum ada sebulan, mungkin masih penyesuaian masing-masing, atau mungkin dia tadi lagi ada masalah..”
“Tapi gak seharusnya dia begini, Ris... Jadi bagusnya aku gimana? ”, Lina meminta pendapatku.
“Nanti sebaiknya kalian saling komunikasi lagi ya. Jangan diem-dieman aja kayak gini. Terus cara kamu menyampaikannya juga harus benar, jangan kebawa emosi, terus...”
“Eh Ris, Andi bbm nih dia lagi didepan ngejemput aku, kirain masih marah, sudah ya dadah..,” ucap Sania tanpa menunggu aku menyelesaikan kalimatku tadi. Aku menganga saking geramnya melihat Lina yang malu-malu kucing saat menghampiri Andi.  Aku cuma  bisa menarik nafas panjang atas perlakuan temanku ini.
Segera aku beranjak dari bangku dan berjalan lesu menuju kantin kampus. Pikiranku sekarang hanya ingin meredakan  perutku yang daritadi melilit dan panas.
Baru aja jalan beberapa meter, datang si Doni menghampiriku dengan wajah yang galau. Dia mencegatku dan mengajakku duduk di taman samping kantin. Kucium aroma kegalauan luar biasa dari gelagat Doni. Sepertinya dia ingin mencurahkannya padaku dan ini pertanda, bahwa makan siangku akan tertunda lagi dan aku paling gak bisa menolak wajah-wajah seperti Doni yang butuh seseorang seperti saat ini.
Hampir satu jam berlalu, dan Doni akhirnya selesai menceritakan permasalahan keluarganya padaku. Wajahnya terlihat lebih tenang dan bisa tersenyum kembali.
“Pokoknya kamu harus sabar ya, Don. Jagain Ibu kamu.” Kataku sebagai saran penutup.






“Kamu keliatan pucat, Rin. Belum makan ya,?” tanya Doni sambil memperhatikan wajahku. Aku hanya tersenyum kecil sambil agak meringis.
“Nih, buat ganjel perut kamu.” Ucapnya seraya memberikan sebungkus biskuit manis padaku dan iapun pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun lagi. Aku melongo menatap biskuit kecil itu.

***

Sakit pada daerah perut ini bukan yang pertama kalinya, kok. Seringkali terasa nyeri, karena memang jarang sekali yang namanya makan teratur. Biasanya kalo udah gini, cukup minum obat maag dan aspirin supaya bisa tidur.  Maklum, aku anak kostan yang benar-benar berjuang hidup sendirian. Sejak ayah pergi bersama keluarga barunya keluar kota, aku hanya hidup berdua ibu saja. Namun saat maut menjemput beliau, yah pasti aku hidup seperti sekarang. Bisa makan sehari sekali aja sudah bersyukur banget.
Sedih sebenarnya kalo diinget-inget. Untungnya aku memiliki banyak teman disekelilingku. Pada awalnya aku senang mereka mempercayakan aku sebagai tempat curhatnya mereka. Hal ini membuatku sedikit lupa sama kenyataan hidup ini.  Tapi lama kelamaan aku jadi merasa seperti tempat pelarian aja. Setelah mereka puas membuang segala kesedihan dan beban, mereka kembali meninggalkanku dalam kesendirian.
“Riiinngggg...,” ringtone standar  dari Hpku berbunyi. Nama Sania terlihat dilayar memanggilku.
“Riskaaaa aku ke kostan kamu ya! Bete banget nih!” ujar Sania dari seberang sana.
“Tapi, San... Aku..,”
“Tungguin aku ya, tenang aku bawa cemilan kok buat kamu, ya ya...” lalu teleponpun dimatikan Sania begitu saja.






Beuh... Teman-temanku ini kadang emang suka kelewatan.  Mereka suka memaksakan kehendaknya tanpa ingin mengetahui keadaan. Sania mau dateng padahal aku harus menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Pak Suseno tadi siang. Namanya doang tugas kelompok, tapi yang ngerjain cuma aku.
Rini?  “Ris, mama sakit nih aku ditelepon, aku gak bisa ikut ngerjain . Maaf ya..”
Tian? ”Aduh Ris, aku ada latihan band nih, gak bisa tinggalin, besok manggung sih..”
Ebi?  “Aku percaya kamu pasti bisa ngerjain, kamu kan pinter! Semangat, Rin!”
Dan pada akhirnya, aku harus mengalah.
Malam ini kembali Tania menceritakan panjang lebar permasalahannya dengan Andi, yang membuatku harus mengundur pembuatan tugas kelompok hingga larut malam. Sudah kuduga, aku harus begadang hingga subuh demi mengerjakannya.

***

Malam itu, di Pizza Hut Sudirman, kuganti pakaian seragam kerjaku dengan pakaian biasa. Aku bersiap pulang setelah menyelesaikan tugasku sebagai pelayan restoran terkenal ini.  Badanku terasa pegal semua, begitu letih dan tetap dengan perut yang terasa sakit.
“Eh Riska pulang bareng yok!”
Suara itu berasal dari Andre, cowok yang satu tempat kerja denganku. Jantungku agak kencang saat mendengarnya memanggilku. Maklum, dia cowok yang sudah sangat lama aku sukai. Kupendam rasa itu rapat-rapat karena dia sudah milik Karin, cewek yang sudah hampir setahun dia pacari.
“Ayo kok bengong Ris ? yuk pulang sama aku” ujar Andre menawarkan sekali lagi.
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku lagi pengen menghindari Andre biar aku bisa ngelupain dia, tapi kali ini aku gak bisa nolak.
“Ris, belakang ini kamu kok suka ninggalin aku pulang? Suka buru-buru banget pulangnya. Padahal banyak yang pengen aku ceritain sama kamu,” tanya Andre dalam perjalanan kami menuju halte bus.
Andre termasuk temanku yang sering bercerita, terutama masalahnya dengan Karin. Sakit rasanya, tapi aku gak mungkin mengacuhkan dia.





“Ah nggak kok. Biasa aja.”
“Kamu kayak pengen menghindar dari aku, Ris..”
“Masa? Perasaan kamu aja itu, Ndre..” ujarku berdalih.
“Kamu gak tau kan kalo aku sama Karin udah putus seminggu lalu?”
Aku sedikit terkejut.
“Kamu mana perduli lagi sama aku, kamu sibuk sama diri kamu sendiri, gak mau denger ceritaku lagi, gak mau pulang sama aku lagi. Kamu...”
“Aduh cukup Ndre! Cukup deh ya. Aku capek jadi tong sampah buat kamu. Capek jadi tong sampah buat kalian. Gak Sania, Doni, kamu. Semuanya anggep aku Cuma tempat sampah. Bahkan kamu... apa kamu ngerti kalo selama ini aku sayang sama kamu?! Nggak kan, Ndre ?!” Aku meluapkan semuanya malam itu dengan air mata yang jatuh dengan sendirinya.
“Ndre, aku Cuma butuh waktu sedetik buat bernafas, Ndre ! Sedetik ! Tapi aku tak pernah punya hal itu. Kalian terus menerus membuang sampah pikiran kalian ke aku tanpa perdulikan apa yang aku rasakan! Aku ini juga manusia, Andre... Manusia biasa!”
Andre hanya terpaku melihat amarahku malam itu. Seketika mataku berkunang-kunang, pandangankupun gelap. Tubuhku meringan dan seketik terjatuh begitu saja.
“Astagfirullah Riskaa...” Teriakan Andre masih sayup-sayup terdengar. Kemudian semuanya  seakan mimpi.
Aku terbangun disebuah ruangan bercat putih, penuh aroma obat dan suara kepanikan yang samar-samar ditelinga.
“Riska Yustisia sudah sadar, siapa keluarganya?” Kudengar teriakan pelan sang wanita berpakaian putih seperti suster. Barulah kusadari saat ini aku berada di rumah sakit yang kuyakini masih berada didaerahku bekerja tadi.
“Alhamdulillah Ris, kamu gak kenapa-kenapa. Aku panik” Ujar Sania dan Doni barengan. Gak disangka mereka bisa ada disini. Aku hanya tersenyum, rasanya belum sanggup berkata apa-apa.
“Maafin kami ya Ris, selama ini kami egois, gak pernah ngertiin kamu kalo kamu juga butuh kami sebagai pendengar kamu. Maaf...” Mereka mengatakan itu dengan pandangan menyesal dan mata berkaca-kaca.










“Iya. Kalian kenapa bisa kesini?”
“Aku yang menghubungi mereka, menjelaskan semuanya. Aku juga meminta maaf yah, Ris...” Andre menjawab pertanyaanku.
“Dan tadi itu sebenarnya aku pengen cerita kalo aku mutusin  Karin karena dia selingkuh. Malam ini kuputuskan untuk menceritakan semuanya dan pengen ngajakin kamu buat jadi orang yang aku sayang...”
Aku gak tahu mau bilang apa. Malam itu aku rasakan benar-benar sebagai manusia yang paling bahagia. Andre menggenggam erat tanganku dan tersenyum saling berpandangan denganku.
“Kami berjanji mulai detik ini, aku, Sania, Doni dan semua teman baikmu, tak akan pernah memperlakukan kamu hanya sebagai penampung keluh kesah kami. Kami akan selalu ada untukmu Ris... We promise..”


***