Jam 3.30, pelajaranpun selesai.
Sebagian besar murid mungkin pulang, tapi tidak denganku dan siswi-siswi centil
yang bertujuan sama denganku, menyaksikan Satria berlatih maraton. Namun
lagi-lagi aku selalu kalah cepat sama yang lain. Pasti aku selalu dapet barisan
paling belakang dikerumunan mereka dilapangan.
“Hahaha Nia, kamu ketinggalan lagi
ya..” Seru Icha, sahabat karibku disekolah dari kejauhan. Sayangnya doski suka
banget ngejekin aku.
“Ah Ichaaa udah jangan rese deh. Sebal!,”
Kutekuk mukaku sambil berdiri dibarisan belakang. Aku memang terkenal dengan
julukan ‘slow girl’ di sekolah,
bahkan dirumah. Eh, dimana aja deh kayaknya! Melakukan apapun serba lamban, aku
yang duluan keluar kelas, tapi aku yang terakhir sampe ke lapangan.
Iya, Kurnia Dwiyanti itu lamban, nggak
seperti anak-anak yang lain. Sejak kecil melakukan apapun selalu yang terakhir
diantara yang lain. Baik itu lari, makan, mandi. Semua selalu meneriakkan
kata,”Niaaaa buruan...” atau “Niaaaa cepetaaann...” dan “Niaaaa cepet dikit
kenapa sih?!” Bosen! Tiap hari adaaa aja yang gak pernah sabar nungguin atau
nerima kekurangan aku satu ini.
Meskipun begitu, aku gak pernah nyerah
buat yang namanya dapetin Satria, Superboy
dambaanku. Atlet lari yang begitu dikagumi gadis-gadis disekolah. Wajar aja,
udah cakep, larinya cepet, pinter, cool lagi. Siapa yang gak mau coba? Apalagi
cewek seumuran aku yang masih kelas 2 SMA. Bener-bener idaman cowok kayak
Satria. Aku suka matanya yang tertuju langsung pada garis finish. Aku suka bayangannya yang begitu cepat melintasi lapangan.
Dia seperti angin. Satria Pratama. Dia cinta pertamaku. Cinta yang bertepuk
sebelah tangan.
Tiba-tiba..
“EH EHH KAMUUU YANG KUNCIR KUDAAAA...
AWASSSSS BOLAAAAA !!!”
Kudengar teriakan itu dari arah lapangan
bola kasti dibelakang, dan saat kutoleh kebelakang, baru kusadari ada sebuah
bola kecil yang dalam hitungan detik akan segera tertuju kearah wajahku.
“Aduh bagaimana ini? Aku lari juga
percuma. Aku diem juga kena” Aku ngomong sendiri. Pasrah. Dan..
“BLASHHHHH...”
“BODOHHHHH HATI-HATI DONG JANGAN ASAL
MUKUL BOLA !”
Kukenal
suara itu. Satria ? Beneran Satria!
Ternyata dia mendengar teriakan orang tadi dan menangkap bola yang hampir menyentuh wajahku. Unbelieveble ! Gerakannya persis seperti cahaya kilat. Kesigapannya
menghadang bola benar-benar cepat dan memukau. Kalo tahu kayak gini, aku mau
setiap hari hampir kena bola asalkan ditolong sama Satria.
“Kamu
juga hati-hati lah” Ujarnya padaku. Dia sempat melihatku beberapa detik, lalu
berlalu meninggalkanku yang masih dalam posisi tangan menutup wajah. Perasaan
campur aduk. Deg-degan, senang, semuanyaaa. God, thanks ya buat kejadian hari
ini. Hihi.
***
Sabtu pagi, jam 08.15. Aku terlambat
gara-gara gak bisa tidur mikirin kejadian kemarin. Untung sekolah cuma 10
menitan jalan kaki dari rumah.
“Tiiitt... tiiiiiitttt....” suara klakson motor
memanggil. Sosok cowok keren membawa Ninja merah berhenti dan membuka helmnya
dan ternyata dia Satria.
“Kamu yang kemarin dilapangan kan yah? Ayok sini ikut
aku. Aku juga telat nih. Hayo buruu..”
Lagi-lagi gak bisa dipercaya. Ya Tuhan
mukjizat apa lagi ini? Pagi-pagi udah dikirimin malaikat ganteng buat
ngeboncengin
aku. Sesampainya diparkiran aku segera mengucapkan terimakasih dan berlari
menuju kelas.
“Hei tunggu, nama kamu siapa?” Satria
berhasil menyusulku hanya dengan berjalan cepat, padahal aku lari tunggang
langgang.
“Kurnia.. panggil aja Nia..”
“Nia
aku suka kamu sejak pertama ngelihat kamu kemarin, kamu mau kan jadi pacar
Satria?”
HAAAHHHH
??!!!!!Hahahahahahaha aduh aku mendadak pusing. Antara girang, gak percaya,
ngos-ngosan, semuanya gabung. Satria sosok yang aku suka sejak kelas 1 ini
malah nembak aku dalam keadaan tergesa-gesa seperti ini? Tuhan terlalu baik ya
sama aku.
“Mau yah Nia, atau kamu gak suka jadi pacar
Satria? jawab dong kita udah telat ini”
“Bu..bukan...aku suka kok. Suka. Suka
banget sama kamu, ta.. tapi kan aneh”
“Aneh apanya? Aku serius. Jadi kita
pacaran yah!”
“A..a..a...” aku gabisa berkata-kata.
Terlalu terkejut sama semua ini.
“Mau bilang aku mau kan? Oke mulai
sekarang Nia pacarku! Udah ya aku masuk kelas dulu dadah pacar!” Teriaknya
meninggalkanku yang masih bengong. Aku harus cerita sama Icha. Dia harus tahu
apa yang aku alamin ini.
“HAHAHAHA jadi Satria yang serba cepat,
nembak Nia yang serba lamban? HAHAHA lucu lucu !!” Icha kembali menertawakanku
saat kuceritakan kejadian kemarin pagi.
“Pasti kamu bahagia banget kan akhirnya
cintamu gak bertepuk sebelah tangan lagi?
“Iya, masih sulit aku percaya, orang
yang hampir 2 tahun aku sukai, tiba-tiba aja nembak kayak gini. Aaaaaa aku
senangggg Ichaaa” kupeluk sahabatku yang nyebelin ini.
“SAYAAANGGG...” Satria memanggilku
memasuki kantin. Semua mata tertuju padanya, lalu menoleh kearahku. Mendadak
seisi kantin makin bising, heboh dengan teriakan Satria tadi. Cibiran-cibiran
pedas terdengar begitu jelas ditelingaku. Ah masa bodoh, yang penting semua
udah tahu, kalo Satria emang punya aku.
“Abis ini pulang bareng yah Nia sayang”
Aku hanya mengangguk malu. Ini kencan
pertama kami sepulang sekolah. Seperti mimpi rasanya bisa nonton dan makan
bareng Satria. Hal ini sudah kuidam-idamkan. Meski selama bersamanya aku
benar-benar merasakan perbedaan kecepatan yang intens. Makna film yang kami
tontonpun aku baru ngeh pas nunggu pesanan makan dihidangin, sedangkan dia
cepat tanggap dari selesai film. Sekarang waktu makan bareng, aku masih
ngeracik bumbu buat baksonya, eh dia udah selesai makan duluan.
“Kamu serba cepat ya sayang..” Gumamku
kagum.
“Gak apa-apa kok, aku kalo makan emang
cepet. Soalnya aku tipe cowok gak sabaran, kalo pelan itu rasanya buang-buang
waktu. Aku serakah, apa-apa semuanya mau dikerjain, makanya suka cepat, gak
bisa diem.”
Aku merasa makin minder mendengar
ucapan itu dari mulut Satria. Apa mungkin pacaran denganku buang-buang waktu
juga? Lalu kenapa dia mau sama aku?
***
Hari Senin ini, jadwalnya Satria kembali
latihan maraton. Dia mengingatkanku untuk selalu melihatnya berlatih, katanya
aku ini semangatnya, jadi baik latihan atau perlombaan, aku harus datang.
“YAANGGG LIAT AKUUU...”
Satria berteriak sambil berlari
dilintasan dengan maksud memamerkan kecepatannya berlari. Dia begitu keren
dengan keringatnya yang mengucur
dari sela rambut mengalir turun ke pipinya. Aku masih gak
percaya dia sudah menjadi superboy-ku
sekarang.
“Heh.. kamu pacarnya Satria kan? Ada
yang perlu dibicarain sebentar keruangan saya.” Tiba-tiba pelatih maraton
Satria nyamperin dan berkata seperti itu.
“HAH? Aku disuruh berhenti pacaran sama
Satria?”
“Sejak dia pacaran sama kamu,
kecepatannya berlari jadi kacau, malah makin menurun. Sering bolos latihan,
alasan inilah, itulah. Pokoknya demi kebaikan Satria, lebih baik jangan dekati
dia lagi dulu.”
Gak bisa kalo kayak gini. Apa hak dia
ngelarang aku sama Satria pacaran? Tapi aku egois kalo maksain kehendak. Satria
harus bisa mencetak rekor lari maraton tercepat demi prestasinya dan reputasi
sekolah. Tuhan, masa secepat ini aku harus berpisah darinya?
“Ah gile aje tuh pak Ibnu. Apa-apaan.
Mana bisa seenak jidatnya ngatur-ngatur!” Icha sewot banget waktu aku ceritain
semuanya.
“Udah Cha, emang bener kata dia. Aku
udah jadi penghalang buat masa depan Satria. Biarlah aku mundur untuk saat ini,
jodoh udah diatur Allah..”
“Tapi, Nia..”
“Ini keputusan aku. Tolong hargai Cha.”
Aku tersenyum paksa dihadapan Icha, demi menutupi kesedihanku. Dan hari ini
juga, aku temui Satria diruang OSIS dan mengutarakan semuanya.
“Apa?? Kenapa cepet banget kamu bicara
kayak gini?? Salah aku apa??”
“Kamu gak ada salah, kamu tahu sendiri kan aku orangnya
lamban, kalo aku harus selalu menyamai kecepatanmu aku capek, Sat. Maaf..”
Satria memandangku kesal. Wajahnya
menunjukkan kekecewaan yang mendalam padaku setelah aku katakan semua itu.
“Sudah kuduga bakal kayak gini. Selalu
saja semua orang ngomong yang sama. Katanya mereka pengagumku, tapi memandang
aku terlalu hebat. Saat latihan juga begitu, yang lain kecapean dan selalu aku
sendirian didepan”
“Satria.. maaf..”
“Hanya kamu yang aku pikir beda dari
mereka! AKU PIKIR KAMU AKAN TETAP MENGIKUTIKU SAMPAI KAPANPUN SEBERAPAPUN
CAPEKNYA! Tapi aku salah. Benar-benar salah duga...”
Ia pergi dan berlalu dengan menundukkan
kepalanya. Astaga, aku baru menyadari betapa bodohnya aku. Dia selalu berlari
sendirian, dan aku selalu ditinggal sendirian. Kami sama-sama kesepian, dalam
kesendirian yang sama.. Ya Tuhan.. Aku benar-benar salah telah mengucapkan
kalimat tadi. Aku menyesal...
***
Kucurahkan penyesalanku sama Icha
melalui handphone. Aku menangis
sejadi-jadinya. Sakit, aku melakukan ini demi kebaikan Satria, tapi malah
kulakukan dengan cara mengecewakannya. Icha hanya menyabarkanku. Menyuruhku
untuk berhenti menangis. Dia bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
“Oh iya, besok lomba maraton antar SMA,
Satria jadi unggulan sekolah kita. Dia bakal ikutan lomba. Kamu harus nonton
ya, buktiin kalo kamu masih peduli sama dia”
“Nggak aku gak berani liatin muka depan
dia. Dia pasti benci sama aku”
“Kok ngomongnya gitu? Katanya nyesel, katanya
sayang, ya kamu harus nonton buat buktiin itu semua, terus minta maaf sama dia”
“Aku pikir-pikir lagi ya”
Iya aku memang memikirkannya. Aku
bingung. Aku masih sangat menyayangi dia, tapi apa mungkin Satria mau
memaafkanku? Aku juga pengen ngeliat dia bertanding. Saat dia berlari adalah
masa-masa terbaik darinya yang selalu aku lihat dari dulu. Aku begitu mengagumi
sosoknya yang berlari itu. Berarti aku harus menyaksikannya besok.
Kamis pagi, jam enam tepat, aku sudah
berada dilapangan sekolah. Aku sengaja bangun pagi-pagi banget mempersiapkan
semuanya. Aku gak mau ‘slow girl’ ini
ketinggalan lagi buat nyaksiin ‘superboy’
beraksi dilapangan. Meski aku udah berhasil berada dibarisan paling depan
diantara kerumunan siswi-siswi pengagum Satria, tapi hati kecilku masih
bercampur rasa malu dan takut ia mengacuhkanku atau pura-pura tidak melihatku.
Tepat pukul tujuh pagi, perlombaan
laripun dimulai. Kudengar pengeras suara menyerukan aba-aba untuk para peserta.
Kucari-cari sosok Satria disana. Ada! Dia yang paling tinggi, paling gagah, dan
paling tampan. Kini aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Ingin kuteriakan
kata-kata penyemangat seperti yang lainnya, tapi apa daya aku tak sanggup.
Kulihat dirinya diposisi paling depan dari yang lain, seperti biasa. Namun
anehnya, mengapa ia seakan berlari menuju arahku? Gak mungkin. Tujuannya pasti
menuju garis finish, bukan aku.
“YAAA
NOMOR PUNGGUNG 01 ATAS NAMA SATRIA PRATAMA BERHASIL MENCAPAI GARIS FINISH
DIURUTAN PERTAMA...!!”
Spontan
aku bersorak kegirangan mendengar juri meneriakkan dengan jelas bahwa satria
adalah pemenang. Eh tunggu, tapi kok, Satria tetap saja berlari? Loh kok
sepertinya berlari kearahku? Mukanya marah, kesal. Aduh benar, dia berlari
menghampiriku. Harus gimana ini? Apa dia mau memarahiku lagi? Aku harus segera
berlari meninggalkan kerumunan. Niatku meminta maaf tiba-tiba lenyap.
“KURNIAAAAAAAA
TUNGGUUU AKUUU !!!”
Makin ketakutan aku mendengar
teriakannya. Aku berlari makin kencang, tapi lagi-lagi dengan kecepatan
supernya, dan aku yang benar-benar lamban, dia berhasil menggapaiku dan menarik
lenganku.
“Kamu mau kemana, Nia?! Dasar Bodoh!
Kenapa kamu gak bilang semua gara-gara pak Ibnu?”
Aku kaget. Darimana Satria tahu hal
ini? Pasti Icha yang ngasih tahu semua ini ke dia. Lalu pak Ibnu menghampiri
kami yang masih sama-sama dalam keadaan tegang.
“Wow Satria kamu tadi hebat sekali
mencetak rekor baru!”
“Ini semua karena Nia, pak! Dia bukan
penghalang buat aku, justru dialah tujuanku, garis finish-ku! Bapak gak ada hak menghakimi Nia dan mengurus
hubunganku!”
“Benar pak, lihat buktinya, Satria
memenangkan pertandingan kan?” Tiba-tiba Icha datang sambil menyahuti perkataan
Satria.
“Kalian ini...Hah..!! terserah..!!” Pak Ibnu pergi dengan
muka datarnya. Dia seakan tak menerima semuanya.
“Nia, aku sayang sama kamu. Percaya,
dengan kita bersama, nggak ada lagi kata kesepian, nggak ada lagi kata
sendiri...”
Kupeluk tubuh Satria yang dipenuhi
keringat itu. Maafin aku sayang, aku janji gak akan pernah ninggalin kamu dalam
sepi, gak akan lelah mengejarmu dan menemanimu, meski dengan keterbatasan ini. I love you, my-superboy...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar