Dua jam sudah aku duduk menahan
rasa nyeri dibagian lambungku demi mendengarkan curhatan Sania, teman satu
kelasku. Cewek itu terus menerus bercerita mengenai pacarnya yang katanya susah
ditebak. Meski lapar, dengan sabar kudengarkan salah satu teman yang selalu
mencurahkan segalanya kepadaku.
“Terus kemarin itu, Andi kayak ketus banget sama aku. Heran banget deh
liat kelakuannya. Padahal aku sudah berusaha sabar sama dia. Sedih Ris..”
Masih sambil meremas perut yang belum sempat aku isi sejak pulang kuliah
tadi siang, “Sabar ya, San.. kamu kan baru jadian sama dia, belum ada sebulan,
mungkin masih penyesuaian masing-masing, atau mungkin dia tadi lagi ada
masalah..”
“Tapi gak seharusnya dia begini, Ris... Jadi bagusnya aku gimana? ”, Lina
meminta pendapatku.
“Nanti sebaiknya kalian saling komunikasi lagi ya. Jangan diem-dieman aja
kayak gini. Terus cara kamu menyampaikannya juga harus benar, jangan kebawa
emosi, terus...”
“Eh Ris, Andi bbm nih dia lagi didepan ngejemput aku, kirain masih marah,
sudah ya dadah..,” ucap Sania tanpa menunggu aku menyelesaikan kalimatku tadi.
Aku menganga saking geramnya melihat Lina yang malu-malu kucing saat
menghampiri Andi. Aku cuma bisa menarik nafas panjang atas perlakuan
temanku ini.
Segera aku beranjak dari bangku dan berjalan lesu menuju kantin kampus.
Pikiranku sekarang hanya ingin meredakan
perutku yang daritadi melilit dan panas.
Baru aja jalan beberapa meter, datang si Doni menghampiriku dengan wajah
yang galau. Dia mencegatku dan mengajakku duduk di taman samping kantin. Kucium
aroma kegalauan luar biasa dari gelagat Doni. Sepertinya dia ingin mencurahkannya
padaku dan ini pertanda, bahwa makan siangku akan tertunda lagi dan aku paling
gak bisa menolak wajah-wajah seperti Doni yang butuh seseorang seperti saat
ini.
Hampir satu jam berlalu, dan Doni akhirnya selesai menceritakan
permasalahan keluarganya padaku. Wajahnya terlihat lebih tenang dan bisa
tersenyum kembali.
“Pokoknya kamu harus sabar ya, Don.
Jagain Ibu kamu.” Kataku sebagai saran penutup.
“Kamu keliatan pucat, Rin. Belum makan ya,?” tanya Doni sambil
memperhatikan wajahku. Aku hanya tersenyum kecil sambil agak meringis.
“Nih, buat ganjel perut kamu.”
Ucapnya seraya memberikan sebungkus biskuit manis padaku dan iapun pergi begitu
saja tanpa mengucapkan apapun lagi. Aku melongo menatap biskuit kecil itu.
***
Sakit pada daerah perut ini bukan yang pertama kalinya, kok. Seringkali
terasa nyeri, karena memang jarang sekali yang namanya makan teratur. Biasanya
kalo udah gini, cukup minum obat maag dan aspirin supaya bisa tidur. Maklum, aku anak kostan yang benar-benar
berjuang hidup sendirian. Sejak ayah pergi bersama keluarga barunya keluar
kota, aku hanya hidup berdua ibu saja. Namun saat maut menjemput beliau, yah
pasti aku hidup seperti sekarang. Bisa makan sehari sekali aja sudah bersyukur
banget.
Sedih sebenarnya kalo diinget-inget.
Untungnya aku memiliki banyak teman disekelilingku. Pada awalnya aku senang
mereka mempercayakan aku sebagai tempat curhatnya mereka. Hal ini membuatku
sedikit lupa sama kenyataan hidup ini.
Tapi lama kelamaan aku jadi merasa seperti tempat pelarian aja. Setelah
mereka puas membuang segala kesedihan dan beban, mereka kembali meninggalkanku
dalam kesendirian.
“Riiinngggg...,” ringtone standar
dari Hpku berbunyi. Nama Sania terlihat dilayar memanggilku.
“Riskaaaa aku ke kostan kamu ya! Bete banget nih!” ujar Sania dari
seberang sana.
“Tapi, San... Aku..,”
“Tungguin aku ya, tenang aku bawa
cemilan kok buat kamu, ya ya...” lalu teleponpun dimatikan Sania begitu saja.
Beuh... Teman-temanku ini kadang
emang suka kelewatan. Mereka suka
memaksakan kehendaknya tanpa ingin mengetahui keadaan. Sania mau dateng padahal
aku harus menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Pak Suseno tadi siang.
Namanya doang tugas kelompok, tapi yang ngerjain cuma aku.
Rini?
“Ris, mama sakit nih aku ditelepon, aku gak bisa ikut ngerjain . Maaf
ya..”
Tian? ”Aduh Ris, aku ada latihan band
nih, gak bisa tinggalin, besok manggung sih..”
Ebi?
“Aku percaya kamu pasti bisa ngerjain, kamu kan pinter! Semangat, Rin!”
Dan pada akhirnya, aku harus
mengalah.
Malam ini kembali Tania menceritakan
panjang lebar permasalahannya dengan Andi, yang membuatku harus mengundur
pembuatan tugas kelompok hingga larut malam. Sudah kuduga, aku harus begadang
hingga subuh demi mengerjakannya.
***
Malam itu, di Pizza Hut Sudirman, kuganti pakaian seragam kerjaku dengan
pakaian biasa. Aku bersiap pulang setelah menyelesaikan tugasku sebagai pelayan
restoran terkenal ini. Badanku terasa
pegal semua, begitu letih dan tetap dengan perut yang terasa sakit.
“Eh Riska pulang bareng yok!”
Suara itu berasal dari Andre, cowok yang satu tempat kerja denganku.
Jantungku agak kencang saat mendengarnya memanggilku. Maklum, dia cowok yang
sudah sangat lama aku sukai. Kupendam rasa itu rapat-rapat karena dia sudah
milik Karin, cewek yang sudah hampir setahun dia pacari.
“Ayo kok bengong Ris ? yuk pulang sama aku” ujar Andre menawarkan sekali
lagi.
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku
lagi pengen menghindari Andre biar aku bisa ngelupain dia, tapi kali ini aku
gak bisa nolak.
“Ris, belakang
ini kamu kok suka ninggalin aku pulang? Suka buru-buru banget pulangnya.
Padahal banyak yang pengen aku ceritain sama kamu,” tanya Andre dalam
perjalanan kami menuju halte bus.
Andre termasuk temanku yang sering
bercerita, terutama masalahnya dengan Karin. Sakit rasanya, tapi aku gak
mungkin mengacuhkan dia.
“Ah nggak kok. Biasa aja.”
“Kamu kayak pengen menghindar dari aku, Ris..”
“Masa? Perasaan kamu aja itu, Ndre..” ujarku berdalih.
“Kamu gak tau kan kalo aku sama Karin udah putus seminggu lalu?”
Aku sedikit terkejut.
“Kamu mana perduli lagi sama aku, kamu sibuk sama diri kamu sendiri, gak
mau denger ceritaku lagi, gak mau pulang sama aku lagi. Kamu...”
“Aduh cukup Ndre! Cukup deh ya. Aku capek jadi tong sampah buat kamu.
Capek jadi tong sampah buat kalian. Gak Sania, Doni, kamu. Semuanya anggep aku
Cuma tempat sampah. Bahkan kamu... apa kamu ngerti kalo selama ini aku sayang
sama kamu?! Nggak kan, Ndre ?!” Aku meluapkan semuanya malam itu dengan air
mata yang jatuh dengan sendirinya.
“Ndre, aku Cuma butuh waktu sedetik buat bernafas, Ndre ! Sedetik ! Tapi
aku tak pernah punya hal itu. Kalian terus menerus membuang sampah pikiran
kalian ke aku tanpa perdulikan apa yang aku rasakan! Aku ini juga manusia,
Andre... Manusia biasa!”
Andre hanya terpaku melihat amarahku malam itu. Seketika mataku
berkunang-kunang, pandangankupun gelap. Tubuhku meringan dan seketik terjatuh
begitu saja.
“Astagfirullah Riskaa...” Teriakan Andre masih sayup-sayup terdengar.
Kemudian semuanya seakan mimpi.
Aku terbangun disebuah ruangan bercat putih, penuh aroma obat dan suara
kepanikan yang samar-samar ditelinga.
“Riska Yustisia sudah sadar, siapa keluarganya?” Kudengar teriakan pelan
sang wanita berpakaian putih seperti suster. Barulah kusadari saat ini aku
berada di rumah sakit yang kuyakini masih berada didaerahku bekerja tadi.
“Alhamdulillah Ris, kamu gak kenapa-kenapa. Aku panik” Ujar Sania dan
Doni barengan. Gak disangka mereka bisa ada disini. Aku hanya tersenyum,
rasanya belum sanggup berkata apa-apa.
“Maafin kami ya Ris, selama ini kami egois, gak pernah ngertiin kamu kalo
kamu juga butuh kami sebagai pendengar kamu. Maaf...” Mereka mengatakan itu
dengan pandangan menyesal dan mata berkaca-kaca.
“Iya. Kalian kenapa bisa kesini?”
“Aku yang menghubungi mereka, menjelaskan semuanya. Aku juga meminta maaf
yah, Ris...” Andre menjawab pertanyaanku.
“Dan tadi itu sebenarnya aku pengen cerita kalo aku mutusin Karin karena dia selingkuh. Malam ini
kuputuskan untuk menceritakan semuanya dan pengen ngajakin kamu buat jadi orang
yang aku sayang...”
Aku gak tahu mau bilang apa. Malam itu aku rasakan benar-benar sebagai
manusia yang paling bahagia. Andre menggenggam erat tanganku dan tersenyum
saling berpandangan denganku.
“Kami berjanji mulai detik ini, aku,
Sania, Doni dan semua teman baikmu, tak akan pernah memperlakukan kamu hanya
sebagai penampung keluh kesah kami. Kami akan selalu ada untukmu Ris... We
promise..”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar