Jumat, 17 April 2015

Lelah


Ketika dua insan sudah tidak sejalan.
Ia ingin mendaki puncaknya sendiri memisahkan diri dengan wanitanya, wanita yg awal mula ia genggam erat tangannya dgn penuh keyakinan bahwasanya kerikil-kerikil bahkan bebatuan besar takkan jadi penghalang. Tepi gunung yg terjal takkan menciutkan niatnya mencapai puncak.

Namun ternyata ditengah jalan, disaat wanita makin ingin menjaga, makin ingin menikmati keindahan pemandangan di puncak, makin gigih menahlukkan semuanya, ia harus ditinggalkan karena lelakinya sudah lelah menggenggamnya.

Kini semua tiada arti. Daripada ia harus menunggu pendaki lain yg mungkin saja melakukan hal yg sama, daripada ia harus turun lagi sementara pendakian sudah setengah jalan, ia lebih memilih menjatuhkan diri ke jurang membawa segenap cinta dan kasih sayang untuk lelakinya bersamanya. Mati, semati-matinya..

Sabtu, 21 Maret 2015

Sedikit Unek-Unek Mbak-Mbak LDR



Entah kenapa seringkali aku harus menjalani takdir untuk menjalin kasih dengan lelaki yang jaraknya ribuan mil untuk dijangkau. Tuhan mungkin tau kalo kesabaran dan kesetiaanku levelnya diatas rata-rata, atau mungkin pengalamanku dengan beberapa pria itu sebagai perantara tuhan untuk memberikanku pelajaran agar bisa lebih paham seluk beluk percintaan takkan pernah selalu indah.
Ah, sepertinya opsi terakhir lebih pas, cara tuhan selalu asyik dan seru untuk membuat kita lebih kuat dan tegar. RencanaNya takkan pernah bisa diduga-duga proses berikut akhirnya.

LDR bagiku seperti menaiki puncak gunung yang begitu tinggi berdua dengan seseorang yang sangat diharapkan bisa diajak bersama menikmati keindahan alam yang nampak dari atas. Jalanannya begitu sulit didaki, banyak jurang disetiap sudut yang siap menangkapmu jika kau lalai dan terjatuh. Butuh banyak niat, keberanian, dan kekuatan agar berhasil berdiri diatas puncak tertinggi. Jika salah satu saja melepaskan genggaman, maka semua adalah nol besar dan kalian hanya akan terperosok kembali kebawah.

Meski sering mendengar komentar pedas dan mengolok-olok, pandangan-pandangan remeh itu aku abaikan. Sebagai kaum yang menjalani hubungan jarak jauh, ada sisi yang membuatku sedikit bangga dengan diriku sendiri. Aku bangga aku telah bisa memperjuangkan apa yang mungkin bagi orang lain tidak sanggup untuk dilakukan. Aku bangga sudah bisa yang namanya merasakan kemandirian dan kerja keras demi mencapai suatu hal yang belum tentu kalian akan mau ambil resikonya.

LDR buatku hanya dilakukan oleh wanita yang kuat; kuat menahan rindu, kuat untuk selalu bersabar, kuat menunggu, kuat bertahan, kuat berusaha, kuat untuk setia.
LDR hanya mampu dilakukan oleh wanita-wanita hebat; tidak mengemis perhatian setiap saat, tidak bergantung dengan prianya setiap waktu, tidak semena-mena minta lelakinya untuk selalu bisa menemuinya, tidak merepotkan dengan rengekan untuk selalu sedia diantar jemput oleh pasangannya.
LDR hanya dijalani oleh wanita yang berani; berani mengambil resiko sulit bertemu, bahwa satu kali pertemuan saja butuh pengorbanan dan usaha yang lebih dari sekedarnya, sulit mengetahui kejujuran pasangan akan hal-hal terkecil sekalipun, berani perjuangkan nasib hubungannya dan pasangannya yang jauh dari jangkauan.

Aku tak mengenal kata trauma buat hal yang satu ini. Ya memang tak bisa dipungkiri, awal-awal terluka aku merasa tidak ingin lagi memberikan hati untuk lelaki yang jauh dari pelupuk mata. Namun kenyataan berkata lain, lagi-lagi tuhan ingkinkan aku buat jatuh cinta kembali dengan lelaki yang kali ini bisa dibilang jaraknya paling jauh dari yang sebelumnya, lebih banyak cobaan, lebih sulit dan lebih complicated buat dijalani.

Saat aku menulis inipun kami sedang dalam keadaan yang sedang tidak baik. Entah sudah berapa kali cekcok dan kesalahpahaman yang terjadi. Eh tapi lucunya, abis berantem, abis marahan, perasaanku makin menjadi-jadi. Diapun demikian. Kami rasakan kasih sayang yang makin dalam diantara kami berdua. Semua itu buatku secara pribadi adalah proses pendewasaan masing-masing dalam menjalin hubungan. Banyak buah pembelajaran yang bisa dipetik sebagai acuan untuk makin baik kedepannya. Aku juga merasakan kelegaan yang luar biasa bila sudah kembali berbaikan seperti sedia kala, sebab aku seperti sudah berhasil menumbangkan pohon ego yang awal mula nampak menyeramkan karena kian kemari kian tumbuh meninggi.

Waktu lagi sedieman kayak begini, kerasa banget kalo gak ada dia, hidup rasanya flat. Gak ada yang bikin kesel, gak ada yang bisa disayangin diperhatiin, gak ada yang suka ngebully, gak ada yang manjain atau nemenin buat sekedar sharingTidurpun tak nyenyak, senyum rasanya enggan, yang ada cuma muka kecut dan hati yang kacau balau. Suasana garing seperti ini bukanlah suasana yang diharapkan. Rasanya gerah seperti diruangan tertutup tanpa ventilasi dan cahaya. Siapa yang mau berkelanjutan dengan situasi seperti ini ?

Tapi sabarku masih ada, bahkan selalu tersedia. Meskipun seringkali seperti ini, entah kenapa rasanya kepercayaan dan keyakinanku padanya tidak pernah berkurang ataupun luntur. Mungkin karena aku tau, memang butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencapai cinta-cita bersama. Aku yakin dia pendaki sejati yang tidak akan pernah meninggalkan aku si pendaki lainnya, yang dari awal diajaknya untuk bersama mendaki menuju puncak kebahagiaan. Meski terkadang dia lalai karena terpana indahnya pemandangan dan udara yang segar, membuatnya kadang mengabaikanku yang sedang lelah dalam menghadapi jalur pendakian yang terjal dan berliku, aku tetap yakin dia tidak akan pernah melepaskan genggamannya dari jari jemari tanganku. Kalaupun semua itu terjadi,berarti yang dia ingin capai bukanlah puncak kebahagiaan yang dinikmati bersama,melainkan puncak keegoisan yang tentunya akan dia nikmati sendiri. Jika sudah begitu, mungkin aku akan tinggal sendirian ditengah jalur, menunggu atau mencari pendaki lainyang benar-benar menghargai kebersamaan, pahit dan manisnya perjalanan selama mendaki bersama.

Apa selanjutnya ? Aku tidak pernah tau, yang aku tau, aku masih ingin melanjutkan pendakian ini bersama dia. Itu sudah cukup menjelaskan, bahwa menjalani cinta yang seperti ini, tidak akan pernah mudah dan hanya kamu dan pasanganmulah penentu, seperti apa akhirnya nanti...

Rabu, 11 Maret 2015

The Power Of 'Bersyukur'

Seorang teman mencurahkan kegundahannya tentang kekasihnya yang pamit pergi untuk mencintai wanita lain. Tersedu-sedu menangisi berpalingnya sang pria. Ia merasa ia sudah yang paling cantik dan sempurna untuk lelaki itu. Padahal dengan mata telanjang, aku sebagai teman tau betul bagaimana perlakuan yang kekanak-kanakan terhadap kekasihnya.
Seringkali mengeluh dan menumpahkan amarah padaku hanya karena ketidakmampuan si pria yang belum mapan memenuhi keinginan duniawi. 
Tidak pernah merasa cukup dan puas akan apa yang ada didiri pasangannya. Tidak menganggap arahan dan nasehat lelaki itu sebagai perhatian melainkan beban akan kebebasannya semata. Padahal dari kacamataku sebagai wanita, ia sudah cukup berusaha membahagiakan temanku dengan cara yang berbeda.
Hingga pada akhirnya kurasa isi kepala pria itu sudah penuh dengan kepenatan. Ketidaksanggupannya menghadapi temanku sudah tiba dibatasnya hingga ia melangkah pergi untuk mendapatkan yang lebih menghargainya.
Kini aku hanya bisa bertindak dan berujar seperti layaknya seorang teman, tanpa mengucapkan kata selain "semoga semua ini bisa diambil hikmahnya".

Dari pengalaman ini bisa membuaku lebih berpikir kritis.
Jika malas mendengarkan pasanganmu memberikan pendapat atau pertanyaan tentangmu, ingatlah ada yang tidak pernah merasakan semua itu dari orang yang dicintainya.
Bersyukurlah ada yg peduli terhadapmu. Bahkan bila ia memprioritaskanmu diatas kepentingan lainnya. Menomorsatukanmu diatas segalanya. Tidak pernah lalai mengingatkan kelalaianmu. Tidak pernah lelah menghadapi kekuranganmu. Meski kadang yang dilahirkan dari mulutmu mengiris kupingnya, tingkahmu membuat relungnya tertusuk, tiada jera bersabar untuk bersamamu.
Lihatlah, ada yang bisa membuatmu berharga selain materi,bukan?

Kadang kita membuat standar kebahagiaan itu dari hal-hal besar padahal dimana ada rasa syukur sekecil apapun disana akan ada bahagia lebih dari yang kita duga.
Bahagia itu tersamarkan oleh ketidakpuasan dan keluhan.

Kita sebagai manusia seringkali lupa diri, tidak menyadari apa yang tuhan sandingkan untukmu saat ini sudah jadi bagian yang paling tepat untuk dijaga. Hal buruknya lebih sering diperhatikan, hal baiknya lebih sering diabaikan.
Terbuai akan mendalamnya perasaan seseorang disisimu terkadang membuatmu lupa untuk merawat dan menjaganya. Bila suatu waktu tuhan memisahkanmu dengannya, kau malah menyalahkan pihak lain seolah seperti belati yang menghujam lalu kau terluka. Padahal acapkali kitalah yang sering ceroboh dalam memperlakukan. Kitalah yang menancapkan ujungnya ke tubuh kita sendiri.

Sejatinya cinta akan semakin kuat bila kedua hati senantiasa saling bersabar dan menyabarkan diri. Sesungguhnya kasih sayang akan semakin ingin tercurah bila ada kebersyukuran yang tak pernah habis. Tak membuat celah untuk mencela, tak membiarkan perbandingan yang belum tentu lebih baik, masuk untuk mengusik. 

Dan seandainyapun semua masih tak cukup untuk membuatmu dan dia saling bertahan hingga pada akhirnya salah satu meninggalkan, maka takkan ada penyesalan. Karena saat masih ada kebersamaan, kamu telah mengusahakan kesempurnaan dan perlakuan yang terbaik untuknya dan hubungan.
Aku selalu percaya, bukan pada karma, melainkan kaffarah. Bahwa apa yang ditanam sama dengan apa yang akan kita petik nantinya :)

Selasa, 10 Maret 2015

Cerita Ego, Sang Pembunuh.


Dian, nama wanita yang tak pernah aku lupakan. Penyesalan dan kepedihan selalu setia mengiringi saat sosoknya muncul dalam ingatan.
4 tahun silam, aku menjalin kasih dengannya. Kami berkuliah dikampus yang sama di Malang, dengan jurusan yang sama pula.
Katanya dia begitu mencintaiku, berikut kekurangan dan kebiasaan burukku. Dian memang tidak pernah marah saat aku melakukan hobi
bermain PS 3 ku yang sering membuatku lupa segalanya. Lupa waktu, lupa kuliah, lupa makan, bahkan melupakannya. Aku melunjak.
Melihatnya yang begitu diam aku makin lupa diri. Janji dengannya sering kuingkari hanya karena tidak mau kalah dalam pertandinganku.
Namun hal ini lama-lama membuatnya geram.
"Kamu sekarang gak pernah perduli sama aku. Game game game melulu. Aku ini pacarmu, Ndre.. bukan patung! Bisa ga hargain aku?"
"Aku selalu ngertiin kegemaran kamu. Aku senang ngliat mimik mukamu yang begitu lepas saat asik main.. tapi apa pernah kamu liat aku?"
Selama hampir 1 tahun, baru kali ini aku melihat Dian begitu marah dan emosinya denganku. Matanya berlinang air yang sepertinya sudah cukup lama ia tahan untuk keluar. Aku cukup tersentak dan amarahnya mampu membuat aku sedikit terbuka pikirannya.
"Maafin aku sayang.. Aku akuin udah salah. Aku janji mulai sekarang aku bakalan lebih perhatian sama kamu."
Dan dengan mudahnya dia memaafkanku. Satu kecupanku dikeningnya mampu membuat api kekesalannya padam..

Malam ini tak biasanya, aku rebahkan tubuhku dikasur empuk kesayangan. Memang kurencanakan untuk tidak begadang dan menunda melanjutkan game Battlefield 3 yang sudah sejak kemarin aku hentikan. Moodku agak hilang sejak Dian marah kemarin.
Tapi aku kembali tersenyum simpul, entah karena merasa senang dia sudah memaafkan tanpa aku harus bersusah payah membujuknya, atau karena merasa lega dia tidak berpikir untuk meninggalkanku. Aku jadi makin tau bahwa Dian benar-benar mencintaiku.

Kebablasan, aku terlelap hingga jam 3 sore. Setelah mandi dan makan, pikiranku langsung ingin melanjutkan permainanku yang sempat tertunda tanpa mengingat untuk mengecek smartphone ku. Levelku sudah jauh diatas, tidak lama lagi aku bakalan menyelesaikan game favoritku ini. Ditambah diluar hujan, makin membuatku malas untuk melakukan aktivitas lainnya.

Jam 7 malam, hpku berbunyi menandakan ada pesan bbm yang masuk dan itu pasti dari Dian. Sengaja kuabaikan karena meski kupingku
mendengar, tak kubiarkan membuyarkan konsentrasiku untuk menang.
Ringtone panggilan masuk dari Dian kembali kubiarkan. Pikirku dia hanya menanyakan aku dimana atau sudah makan belum,
hal yang tidak terlalu penting buat ditanyakan.
"Ah lagi seru ini ih rese," gumamku sendiri sambil asik memencet stick PSku.
berkali-kali panggilan tak terjawab darinya dan aku masih tidak beranjak dari depan tv LED kesayangan.

Tepat pukul 10 malam, aku berhasil menamatkan permainan. Barulah saat itu aku menoleh ke hp yang sedari tadi sibuk berbunyi.
Dan.. kegembiraanku sesaat langsung berubah menjadi rasa cemas yang luar biasa setelah membaca bbm yang masuk dari Dian.

19.01
"Ayang dirumah kan? abis ujan aku mau kerumah nganterin sesuatu. Sayang pasti seneng :p"

19.15,
"Yang ujannya udah rada redaan, aku otw sekarang ya :*"

19.45,
"Ayang ujannya deres lagi, jemputin aku dong di ilir barat, motorku mogok"
"PING!!"
"PING!!"

20.40,
"Yang kamu dimana? :( ada yang nguntit aku drtdi, aku dorong motor nyari tambal ban susah bgt daerah sini :'("

20.42,
"Ayang perasaan aku gak enak tolong jemput aku daerah veteran kalo kamu baca, aku hubungin adekku gak aktif"
"PING!!"

Kucoba untuk meneleponnya kembali, tapi muncul suara "nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi" dari seberang sana.
Gemuruh-gemuruh langit bekas hujan makin menambah rasa takut didalam diri.
Kuputuskan untuk pergi kerumah Dian malam itu juga untuk memastikan keadaannya. Mungkin saja dia sudah pulang dan ngambek
seperti kebiasaannya sebelumnya dan jika aku menemuinya amarahnya pasti langsung mereda.

Tapi apa yang kubayangkan ternyata berbeda dengan kenyataan. Kudapati rumahnya dipenuhi tetangga dan saudaranya
dengan raut sedih dan cemas. Kulihat ada beberapa kepala tertunduk menangis didepan halamannya, menandakan ada
kabar duka dari rumah ini. Kemudian adik Dian, Reno menghampiri dan memegang pundakku.
"Kak Dian masih dirumah sakit, tapi..."
"Kakakmu kenapa Ren? tapi dia baik-baik aja kan?," Aku bertanya berharap Reno dapat menyangkal firasat burukku soal ini.
"Dia masih dirumah sakit tapi jasadnya akan segera dibawa pulang kemari".

Jasad katanya? Mataku terbelalak. Dugaanku kini tak terbantahkan meskipun aku agak bingung dengan apa yang terjadi.
Rasanya hal ini terlalu cepat bak mengedipkan mata. Wanita yang sedari tadi sibuk menghubungiku kini malah tak bisa aku
hubungi lagi lewat telepon manapun.
Malam itu benar-benar malam yang sangat berat buatku dan buat keluarganya. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semuanya.
Keegoisan dan arogansiku yang tinggi sudah menghilangkan apa yang begitu berharga dihidupku.

Ternyata tanpa sepengetahuanku, Dian hunting sendiri kaset-kaset game PS 3 terbaru yang belum aku beli. Meskipun
dia tidak mengerti, ia berusaha untuk ikut masuk kedalam dunia yang aku gemari. Kudapati hal itu dari mulut Reno dimalam
ketiga peringatan kematiannya.
"Malem itu kak Dian hubungin aku minta dijemput tapi waktu itu hpku lagi kehabisan batre. Dia dipalak sekawanan preman mabuk,
tapi dia berusaha melawan karena isi tasnya penuh kaset PS 3 yang dia beli siangnya sebelum ingin ia antarkan ke kakak."
"Saksi mata bilang dia ditusuk didaerah perut, lalu ditinggal preman dipinggir jalan yang waktu itu lagi sepi, kak.."

Kalian pasti tau seberapa dalamnya rasa bersalahku, bukan? bagaimana penyesalan yang aku dapati setelah semua ini
terjadi bahkan dalam hitungan tahunpun tak jua menghapuskan semuanya. Meski kini aku sudah bersama wanita yang berbeda,
tapi Dian akan selalu punya tempat tersendiri disudut hati yang paling dalam, yang tak tersentuh oleh siapapun.

Jangan pernah siakan siapapun orang yang mencintaimu saat ini demi egomu sendiri. Kadang karena kita tau dia begitu
mencintai kita, kita jadi memperlakukan dia seenaknya. Lupa, bahwa tuhan bisa mengambilnya dari sisimu kapan saja.
Jangan sampai tuhan harus menamparmu dengan menghilangkan sosoknya, agar kalian lebih paham cara mensyukuri keberadaan seseorang yang telah Dia kirimkan untuk dijaga.

Tuhan, meski mungkin aku tak layak meminta, tapi tak bisa kuingkari inginku agar Dian mendapatkan tempat yang layak, disisiMu.
Amin.





Mengabadikan Kebersamaan

Ini mengenai apa yang dirasakan dengan jiwa, bukan sekedar penglihatan.
Bukan dengan menggunakan lensa kamera untuk disimpan atau dicetak lalu diceritakan pada dunia.
Siapapun pasti menginginkan kebersamaan yang tiada lekang oleh hal terkejam didunia menurutku ; waktu.
Tapi, apa bisa kita selalu bersama seseorang berapa lamapun waktu yang telah dihabiskan seperti layaknya
pasangan ayah dan ibuku misalnya ?

Perkara mencari seorang pasangan hidup itu memang tidak semudah mencari cat kuku mana yang cocok untuk
dikenakan, jika tidak perlu lagi atau bosan, bisa dihapus oleh nail polish remover dengan mudahnya, lalu mencat
kembali kuku dengan warna cat kuku lainnya.
Tidak hanya hal klise yang menyangkut penampilan, materi, usia, maupun status sosial. 
Mencari teman hidup bagiku adalah mengenai bagaimana seseorang bersedia dengan setulus-tulusnya hati
menginginkan untuk selalu disisimu sampai fisik tak berdaya, rambut memutih bahkan merontok per helai hingga
tak tersisa, apapun yang terjadi.

Banyak orang diluaran sana, terbuai oleh keindahan kasat mata saja, terayu oleh buaian harta dan gengsi semata
tanpa mengerti, bahwa yang terjalin atas hal-hal itu hanyalah kenafsuan yang dikamuflasekan dengan istilah cinta. Rasa takut kehilangan yang ada hanyalah rasa tak ingin diungguli, bukan benar-benar ingin menjaga.
Mereka lupa, bilamana kebersamaan tanpa komitmen hanya akan menghancurkan apa yang dijalani selama ini.
Lupa, menganggap ketertarikan fisik sebagai cinta adalah semu dan takkan pernah menemukan kesejatian.
Lupa, bahwa sebenarnya memiliki teman hidup adalah tentang berkomunikasi dan untuk berbagi. Sebab saat
menua kita tidak akan bisa melakukan banyak hal lagi selain bercerita dan menertawakan masa silam dengan
pasangan hidup kita kelak.

Pasti kalian pernah mendengar, harfiah cinta adalah sebuah reaksi kimiawi yang tercipta akibat bergabungnya
hormon seperti endorfin dan serotonin beserta pheromones. Semua lambat laun pasti akan menghilang dari
seseorang baik itu dari dirimu sendiri atau dari pasanganmu. Senyawa-senyawa itu akan terurai dan lenyap
bersamaan waktu yang tak terprediksi.

Lalu, seperti yang kutanyakan diawal, bagaimana bisa orang tua kita yang sudah menua masih saja bersama?
Mengapa kakek dan nenek kita bisa tetap bertahan hingga maut memisahkan? Apakah mereka sandiwara semata
demi anak-anaknya ?

Memang, mereka juga merasakan cinta yang perlahan pergi.
Iya, cinta adalah rasa yang bisa hilang.
Kulihat semua prosesnya dihampir setengah perjalanan hidup. Tak cuma bercermin dengan perjalanan orang tuaku,
bahkan dirikupun sendiri sudah mengalaminya dimasa lalu.
Tapi saat tiba waktunya cinta itu lenyap, aku menangkap bahwa mereka memiliki sebuah rasa yang lain, sesuatu
yang lebih sinkron dan permanen, bukan sandiwara. Mereka punya sesuatu yang disebut dengan KASIH SAYANG,
yang akan timbul dengan sendirinya akibat hati yang sudah saling bertautan, kebiasaan yang saling berkaitan,
kebutuhan yang akan terjadi terus-menerus; bukan sekedar keperluan, simpati dan empati yang bersahutan, dan
tentu komunikasi yang tak terbatas oleh ruang dan jarak.
Ia lebih mendalam hingga keturunan-keturunannya, lebih tinggi dari komitmen setegas apapun, dan tak terbantahkan
melebihi cinta yang dirasakan sekedar waktu tertentu saja. Ego setinggi apapun tidak akan menghancurkannya.
Kelalaian sebobrok apapun tidak akan mampu menghapusnya. Waktu selama apapun tidak akan bisa memudarkannya.

Dan untukmu yang saat ini bersamaku, aku memang tidak tau sampai dimana aku mampu mencintaimu, aku tidak
bisa menerka sampai kapan aku akan terus menjatuhcintakan diri padamu. Namun satu hal yang bisa kupastikan,
aku sudah memutuskan sejak awal untuk menyandingkan diriku disisimu sebagai orang yang tidak hanya memberikan
rasa suka, rindu, kesal, amarah, sabar dan cinta ini. Aku jaminkan diriku untukmu beserta semua yang ada pada diriku,
aku akan menjadi satu-satunya wanitamu yang selalu ada disampingmu saat kau membuka mata hingga tak mampu
lagi terbangun untuk menyampaikan,
"selama selalu ada 'kita', semuanya akan baik-baik saja dan kebersamaan ini akan abadi"..

Jumat, 06 Maret 2015

Perihal Cinta dan Tanggung Jawab




Bila kamu sudah menyatakan cintamu, dan menginginkan seseorang untuk dimiliki, itu sama artinya dengan
sudah siap untuk bertanggung jawab dengan perasaan cinta yang kamu punya untuk orang tersebut. Karena perkara berkata cinta bukanlah sekedar ungkapan 'I love you', melainkan disana akan ada banyak hal yang perlu untuk dipikul, dihadapi, dan dilakukan.

Maka sebelum mengatakan cinta, pikirkanlah bahwa yang mendengar akan merasa diberi sebuah harapan. Hmm.. bukan hanya sebuah, tapi banyak harapan. Harapan untuk dijaga hati dan tubuhnya, harapan untuk tidak disakiti atau diabaikan, harapan agar perasaannya tidak dipermainkan, harapan untuk bisa dipercaya.
Sebelum menyatakan keinginan untuk memiliki, pikirkanlah bahwa yang mendengar adalah anak dari orang tua yang susah payah merawat dan membesarkannya hingga semenarik ini untuk kau inginkan. Sudah siapkah mencintai orang yang begitu tidak ingin terlukai oleh keluarganya? Karena dia pasti begitu berharga. Jika tidak, mana mungkin kau sangat berharap ia bisa dimiliki olehmu.

Tunggu, ini bukan hanya menyangkut orang yang menyatakan, melainkan menyangkut orang yang menerimanya pula.
Bila kamu menerima cintanya, itu artinya kamu sudah siap untuk melakukan tanggung jawab yang sama pula yang ada pada dirinya. Bukankah banyak dan besar tanggung jawabnya dalam mencintai ?
Tanggung jawab untuk bersabar menghadapi dan menunggu,
tanggung jawab untuk menerima kekurangan,
tanggung jawab untuk mencegah airmatanya menetes karena terluka,
tanggung jawab untuk pedulikan apapun yang berkaitan dengannya.

Ya memang, kadang kita tidak mengerti mengapa cinta harus diuji bertalu-talu hingga kadang membuat diri sendiri ragu untuk tetap meneruskan. Menyadari ketersiksaan diri menahan amarah, ego, dan sakit yang mencengkram dada demi tanggung jawab dalam mencintainya.
Rasanya seperti ingin mencari jurang lalu menepikan diri disudutnya, bersiap mengambil langkah untuk menjatuhkan diri kedalamnya, ketimbang untuk tetap berada diarah yang sama dengan pasangan kita yang mungkin juga kadang
merasakan penat yang sama.

Namun, ingatkah bahwa apa yang mudah didapatkan hukumnya akan mudah dilepaskan?
Apa yang mudah dijalani akan mudah diakhiri?
Apapun yang nampak dipelupuk mata atau apapun yang dirasakan sesaat kadang itu bukanlah hal yang sebenarnya. Semua sekedar goyahan keyakinan akan pilihan dan intrik hidup untuk menguji diri.
Teruskanlah jika kamu merasa harus diteruskan, berundurlah langkahmu jika kau meragu, berhati-hatilah jika ingin selamat menuju awal yang baru dari sekian lama tanggungan hatinya dan hatimu. Sebab resiko bukanlah sesuatu yang dapat dihapuskan, ia hanya dapat dikawal.

Kita lah yang bersuka rela menanggung jawab-i semua liku perjalanan. Bertolak unsur, dan memberi sedikit ruang untuk mengalah bukan berarti lemah dalam melangkah. Ini bukan soal siapa yang terkuat atau siapa yang terhenti langkahnya.
Jika mengibaratkan perang, kita berdualah yang bertempur dengan kepala batu sebagai senjata andalan.
Padahal kemenangan seutuhnya adalah milik berdua bila mampu mengutuhkan jalinan, untuk tidak lupa tanggung jawab saling menjaga.

Betapa manisnya suatu hubungan, bila masing-masing mampu mengerti akan tanggung jawab akan cinta itu sendiri.
Indah, bila dilalui dengan bersama-sama menggenggam tangan yang erat tanpa ada sesal untuk jalan yang tak selalu lurus.

Selasa, 13 Januari 2015

Jarak

Mendengar judulnya saja pasti dikepalamu timbul berbagai pikiran-pikiran negatif, pola pesimistis yang menyalahkan dan berbau amarah akan hal ini. Padahal aku tidak mengetik jenis jarak yang seperti apa, jauh atau dekat, pokoknya kalo sudah mendengar dan membaca istilah 'jarak' yang ada diotakmu itu jauh, susah, ribet, gak enak, payah. Apalagi ? Benarkah dugaanku tentang hal ini ?

Jika iya benar, apakah yang membuatmu jadi merasa demikian ? Apa kalian juga mengalami keterpurukan akibat dikalahkan olehnya ? Apakah kalian pernah rasakan kepedihan karena gagal membuat jarak yang jauh itu menjadi tiada artinya ?

Benar lagi ya, asumsi-asumsiku mengenai judul ketikanku ini?

Hahaha, sepertinya aku paham sekali, pikirmu. Ya iya, jarak bukan hal asing dalam hidupku, terutama menyangkut masalah percintaan. Tak perlu kuberitau berapa kali aku menjalin hubungan jarak jauh, tak penting untuk kujelaskan bagaimana rasanya berkali-kali di-jatuhcinta-kan sama lawan jenis yang berjauhan fisiknya dariku.


"Aku benci jarak!!",

Kalimat ini yang sering terlontar ketika aku harus tersakiti olehnya. Oh bukan, bukan jarak yang menyakitiku, bukan. Namun seringkali aku menyalahkannya. Menyudutkan keadaan yang berjauhan yang membuat aku dan pasanganku harus terpisah kota, menyeberangi pulau, dan menempuh beribu kilometer hanya demi bisa menghancurkan jarak itu.
Padahal bukan jarak yang salah dalam hal ini. Dia sudah hadir lebih dulu sebelum rasa itu datang. Dia adalah satu-satunya dinamika yang harus ditelan bulat-bulat hanya untuk membuat cinta menjadi nyata.
Aku juga tidak menyalahkan cinta.
Dia hadir tanpa undangan ataupun perencanaan. Dia adalah satu-satunya alasan yang tepat mengapa harus menjalani keadaan dimana selalu ada kegusaran, kecemasan, kebingungan, ribuan tanya, saat menjalin kasih dengan insan diseberang sana.

Aku tak ingin salahkan siapa-siapa atas lukaku selama ini. Aku tidak pernah kalah oleh jarak. Cintaku selalu kuat dari apapun. Jarak bagiku adalah jalan pembuktian, bahwa ketidakhadiran seseorang disisi bukan alasan untuk tidak jatuh cinta. Aku juga tak ingin menyudutkan lelaki-lelaki yang seringkali aku perjuangkan, namun pada akhirnya meninggalkan. Setidaknya, mereka sudah pernah mencoba, itu cukup untuk dihargai, meski aku tak pernah tau pasti apakah mereka mencoba bergumul dengan jarak karena memang memiliki rasa dan asa yang serupa, atau hanya sebuah penasaran, atau sebuah candaan untuknya.


Buatku tiada yang salah dalam perkara jarak ataupun soal jatuh cinta, buatku disini hanya ada yang kurang, sehingga hasilnyapun tidak sesuai harap bahkan menghancurkan sehancur-hancurnya serpihan, yakni kata "saling". Saling bertahan, saling memiliki cinta yang kuat, saling menguatkan, saling mengingatkan, saling tak ingin berpisah. 1 kata ini, seringkali terabaikan, padahal tanpanya, perjuanganmu tiada arti, membuatmu tiada berarti, dan jarak makin membuatmu mati...

Minggu, 11 Januari 2015

Kata Mereka, Katamu, dan Kataku.

Hmmm.. Mengenai dia, dia lelaki yang bisa membuatku tersenyum lebar bahkan kalo bibirku sepanjang Joker, senyumanku akan selebar itu, tapi sekaligus membuatku kesal seperti naga yang mendengus marah karena terbangun dari tidurnya didalam gua. Perumpamaan-perumpamaan yang berlebihan memang, karena yang kurasakan saat ini semuanya serba diluar batas kewajaran. Ah bukan, ini wajar, wajar aku jatuh cinta padanya yang begitu pandai memasuki celah hatiku yang sedang rapuh, Mungkin ini namanya perasaan cinta yang sedang meledak-ledak.

Entah apa yang membuatku demikian. Aku berusaha mencari tau jawabannya, berbeda dengan dirinya yang sama sekali tak ingin mengetahui alasannya mengapa begitu mencintaiku pula karena baginya kalo dia temukan jawaban, ketika jawaban itu ada, ia bisa saja berhenti mencintaiku bila alasan itu sudah hilang. Lalu kuputuskan untuk tidak penasaran lagi terhadap rasa ini, aku lebih memilih untuk menikmatinya, bersama.

Akan tetapi, selalu ada saja pihak-pihak yang mencoba mengusik keasikanku ini. Baik itu para mahluk usil yang tidak suka melihat kebahagiaan orang lain, atau mahluk yang memang menginginkan posisinya dia digantikan, dan sebaliknya.
"Kamu sama aku aja, aku bisa kasih apa yang dia tidak bisa berikan",
"Kamu kenapa mau sik sama dia? mending sama aku, masa depan lebih jelas",
"Dia kan sering bikin kamu kesel, ngapain dipertahanin?"
"Apa yang diharepin dari cowok model begitu?"
"Yakin kamu mau nunggu dia?"

Hahaha mereka bertanya tapi tersirat nada menjatuhkan didalamnya seolah aku wanita terbodoh dimata mereka. Mereka bertanya bukan karena penasaran alasanku mencintainya seperti halnya aku sebelumnya, mereka bertanya tapi inginkan aku memikirkan bahwa ada yang lebih dari lelakiku. Padahal, semakin mereka menyudutkan, mereka yang makin terlihat tidak ada pesonanya sama sekali dimataku. Makin mereka meninggikan diri untuk dipilih, makin aku tak menginginkan mereka dihidupku.

Aku dan dia sama-sama menyadari kekurangan masing-masing seperti apa. Kondisinya yang masih belum mampu memberikan sejuta materi atau sebuah kehadiran yang bisa sekejap saja aku dapatkan bila aku membutuhkan rengkuhan tubuhnya untuk menenangkanku.

Iya, dia memang menyebalkan, dengan bully-annya yang begitu tajam tepat sasaran namun aku mencintai caranya yang mengolok-olok kekurangan fisikku. Dia tunjukkan perhatiannya dengan cara seperti itu.
Dia egois, dengan seringkali memaksakan diri hanya untuk mendengarkan ocehanku dari telepon genggamnya padahal matanya sedang tidak bersahabat. Alhasil, saat aku asik berceloteh dia terlelap sesekali diseberang sana. Namun aku mencintai caranya merindukanku seperti ini.
Dia lalai, dengan seringkali mengabaikan perkataanku yang tidak ingin hal buruk terjadi padanya atau kadang dia tidak sadar sering mendiamkan apa yang aku sebutkan diselipan teks atau percakapan kami. Namun aku mencintai caranya merasa bersalah setelah menyadari hal ini.
Dia sering meninggalkanku untuk menakhlukkan puncak gunung manapun, menemui lebatnya hutan, atau melenyap bersama alam-alam yang dia jelajahi. Namun tiada sedikitpun aku meragukannya atau mengiyakan omongan-omongan mereka, karena aku tau dia kesana hanya untuk kepuasan diri dan persinggahan, sedangkan aku bukan hal yang demikian.
Dia pergi untuk kembali padaku, rumahnya, dimana ia melepaskan peluh rindu kepada tuannya yaitu aku, merebahkan lelah dengan nyanyian malamku jelang lelapnya, menceritakan segala kesempatan dimana maut seakan mendekat disaat-saat mencekamnya selama menikmati tanah dan udaranya dipetualangannya. Aku sedikit susah menarik nafas saat mendengarnya, tapi kenyataan bahwa dia selalu baik-baik saja membuat rongga dadaku kembali berlega diri.

Aku sudah tau keburukannya, sudah tau kekurangannya, sudah tau resiko-resikonya menjalani ini semua bersamanya. Seharusnya mereka tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk mengatakan hal-hal yang sudah aku ketahui. Harusnya sik, mereka lebih memanfaatkan waktu dengan memperbaiki diri.

Aku juga sudah tau dia seringkali minder, menyatakan dengan berani segala apa kelemahannya. Dan yang harus dia tau sekarang, semakin dia merasa tidak sempurna, aku semakin ingin menyempurnakannya.
Semakin dia tegaskan padaku bahwa ada banyak yang lebih dari dirinya, semakin tidak aku pedulikan mereka dan aku makin tertuju padanya.
Semakin dia menampakkan sisi buruknya, aku semakin ingin mencintainya dengan segala kekurangannya.

Ini lebih dari cinta, aku rasa, ini fase terbaik dari kesembuhan luka. Maha anugerah terindah dari segala lara yang pernah mendera. Sekarang waktunya aku memberitaukan pada berapa pasang mata yang rela menyempatkan untuk membaca, mungkin termasuk mereka yang aku bahas selain dirinya disini; aku mencintainya, apapun yang terjadi. Aku mencintainya, dari jarak 766km/476mil. Tak apa menurutmu aku naif, aku hanya berpegang pada apa yang aku yakini saat ini. Bila keyakinanku salah, itu bukan urusanmu.

Tentang Kecewa

Kecewa ? kenalin, itu teman akrabku. Aku sudah berkali-kali merasakannya, tidak terhitung. Harusnya sik udah kebal, tapi meskipun sudah sering, tetap saja waktu ngerasainnya, aku sakit. Seolah gong yang diam dipukul berkali-kali, tiada jera aku hadapinya. Sepertinya si Kecewa memang ingin jadi teman setiaku dibanding jadi temannya si harap. Kenapa demikian?

Kata orang, kecewa itu timbul karena berharap, kemudian harapan itu tidak sesuai kenyataannya. Makin besar harapan, makin dalam kecewanya. Dimana ada harap, disitu ada kecewa.
Iya memang benar apa yang dikatakan orang-orang, akupun merasakannya. Akan tetapi, ada hal lain yang aku rasakan tentang ini ; meskipun aku tidak berharap, si kecewa masih saja nongol. Kayak parasit, dia masih saja menempel lekat disekujurku, seperti betah menggerogoti disetiap celah-celah hatiku.

"Ah masa sik, gak berharap aja bisa kecewa? rada mustahil deh kayaknya!", itu komentar yang kurang lebih sama terlontar dari mulut-mulut orang sekitarku.
Lah, lalu apa yang aku rasain ini namanya jika bukan sebuah kekecewaan? Perasaan dimana aku terluka, padahal aku tidak berharap apapun padanya. Aku sudah tau akan seperti ini, akupun sudah sengaja tak ingin memikirkan apapun tentangnya yang sewaktu-waktu menimbulkan setitik asa. Sepertinya, usaha pencegahan itu semuanya gagal. Tetap saja aku bersedih, aku terluka, aku sakit.

Aku sudah pernah terlalu berharap akan sesuatu, akan banyak hal. Sudah pernah menggantungkan harapku itu setinggi langit pada seseorang. Namun saat harap itu terjawab dengan hal yang jauh dari angan, saat dia jatuh terhempas kencang begitu saja ke tanah, saat itu pula aku melihat dan menyadari, bahwa semua itu adalah hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku lupa kalo aku manusia, dan mereka juga manusia biasa. Aku sempat khilaf untuk lebih mempercayai sesamaku dibanding Penciptaku, Maha Penentu Semuanya. Aku telah salah memilih untuk mengimankan diri pada mereka-mereka yang belum tentu bisa menghargai segala harap dan yakinku.

Sejak saat itu pula aku putuskan untuk berhenti berharap. Tapi apa yang terjadi? Kecewa itu masih dan masih saja hadir! ya Tuhan, aku benci bila harus mengakui bahwa aku merasakan itu lagi. Aku sudah sangat jauh dari batas lelahku, tapi aku enggan berhenti untuk merindukan seseorang untuk diandalkan menjaga semuanya dariku, meskipun seharusnya aku hanya mengandalkan diriku sendiri dan tuhanku.

Sebentar..
Aku tersentak.

Saat kutulis semua tentang kecewaku ini, aku menyadari, yang ku kecewakan adalah ;
diriku sendiri..