Selasa, 13 Januari 2015

Jarak

Mendengar judulnya saja pasti dikepalamu timbul berbagai pikiran-pikiran negatif, pola pesimistis yang menyalahkan dan berbau amarah akan hal ini. Padahal aku tidak mengetik jenis jarak yang seperti apa, jauh atau dekat, pokoknya kalo sudah mendengar dan membaca istilah 'jarak' yang ada diotakmu itu jauh, susah, ribet, gak enak, payah. Apalagi ? Benarkah dugaanku tentang hal ini ?

Jika iya benar, apakah yang membuatmu jadi merasa demikian ? Apa kalian juga mengalami keterpurukan akibat dikalahkan olehnya ? Apakah kalian pernah rasakan kepedihan karena gagal membuat jarak yang jauh itu menjadi tiada artinya ?

Benar lagi ya, asumsi-asumsiku mengenai judul ketikanku ini?

Hahaha, sepertinya aku paham sekali, pikirmu. Ya iya, jarak bukan hal asing dalam hidupku, terutama menyangkut masalah percintaan. Tak perlu kuberitau berapa kali aku menjalin hubungan jarak jauh, tak penting untuk kujelaskan bagaimana rasanya berkali-kali di-jatuhcinta-kan sama lawan jenis yang berjauhan fisiknya dariku.


"Aku benci jarak!!",

Kalimat ini yang sering terlontar ketika aku harus tersakiti olehnya. Oh bukan, bukan jarak yang menyakitiku, bukan. Namun seringkali aku menyalahkannya. Menyudutkan keadaan yang berjauhan yang membuat aku dan pasanganku harus terpisah kota, menyeberangi pulau, dan menempuh beribu kilometer hanya demi bisa menghancurkan jarak itu.
Padahal bukan jarak yang salah dalam hal ini. Dia sudah hadir lebih dulu sebelum rasa itu datang. Dia adalah satu-satunya dinamika yang harus ditelan bulat-bulat hanya untuk membuat cinta menjadi nyata.
Aku juga tidak menyalahkan cinta.
Dia hadir tanpa undangan ataupun perencanaan. Dia adalah satu-satunya alasan yang tepat mengapa harus menjalani keadaan dimana selalu ada kegusaran, kecemasan, kebingungan, ribuan tanya, saat menjalin kasih dengan insan diseberang sana.

Aku tak ingin salahkan siapa-siapa atas lukaku selama ini. Aku tidak pernah kalah oleh jarak. Cintaku selalu kuat dari apapun. Jarak bagiku adalah jalan pembuktian, bahwa ketidakhadiran seseorang disisi bukan alasan untuk tidak jatuh cinta. Aku juga tak ingin menyudutkan lelaki-lelaki yang seringkali aku perjuangkan, namun pada akhirnya meninggalkan. Setidaknya, mereka sudah pernah mencoba, itu cukup untuk dihargai, meski aku tak pernah tau pasti apakah mereka mencoba bergumul dengan jarak karena memang memiliki rasa dan asa yang serupa, atau hanya sebuah penasaran, atau sebuah candaan untuknya.


Buatku tiada yang salah dalam perkara jarak ataupun soal jatuh cinta, buatku disini hanya ada yang kurang, sehingga hasilnyapun tidak sesuai harap bahkan menghancurkan sehancur-hancurnya serpihan, yakni kata "saling". Saling bertahan, saling memiliki cinta yang kuat, saling menguatkan, saling mengingatkan, saling tak ingin berpisah. 1 kata ini, seringkali terabaikan, padahal tanpanya, perjuanganmu tiada arti, membuatmu tiada berarti, dan jarak makin membuatmu mati...

Minggu, 11 Januari 2015

Kata Mereka, Katamu, dan Kataku.

Hmmm.. Mengenai dia, dia lelaki yang bisa membuatku tersenyum lebar bahkan kalo bibirku sepanjang Joker, senyumanku akan selebar itu, tapi sekaligus membuatku kesal seperti naga yang mendengus marah karena terbangun dari tidurnya didalam gua. Perumpamaan-perumpamaan yang berlebihan memang, karena yang kurasakan saat ini semuanya serba diluar batas kewajaran. Ah bukan, ini wajar, wajar aku jatuh cinta padanya yang begitu pandai memasuki celah hatiku yang sedang rapuh, Mungkin ini namanya perasaan cinta yang sedang meledak-ledak.

Entah apa yang membuatku demikian. Aku berusaha mencari tau jawabannya, berbeda dengan dirinya yang sama sekali tak ingin mengetahui alasannya mengapa begitu mencintaiku pula karena baginya kalo dia temukan jawaban, ketika jawaban itu ada, ia bisa saja berhenti mencintaiku bila alasan itu sudah hilang. Lalu kuputuskan untuk tidak penasaran lagi terhadap rasa ini, aku lebih memilih untuk menikmatinya, bersama.

Akan tetapi, selalu ada saja pihak-pihak yang mencoba mengusik keasikanku ini. Baik itu para mahluk usil yang tidak suka melihat kebahagiaan orang lain, atau mahluk yang memang menginginkan posisinya dia digantikan, dan sebaliknya.
"Kamu sama aku aja, aku bisa kasih apa yang dia tidak bisa berikan",
"Kamu kenapa mau sik sama dia? mending sama aku, masa depan lebih jelas",
"Dia kan sering bikin kamu kesel, ngapain dipertahanin?"
"Apa yang diharepin dari cowok model begitu?"
"Yakin kamu mau nunggu dia?"

Hahaha mereka bertanya tapi tersirat nada menjatuhkan didalamnya seolah aku wanita terbodoh dimata mereka. Mereka bertanya bukan karena penasaran alasanku mencintainya seperti halnya aku sebelumnya, mereka bertanya tapi inginkan aku memikirkan bahwa ada yang lebih dari lelakiku. Padahal, semakin mereka menyudutkan, mereka yang makin terlihat tidak ada pesonanya sama sekali dimataku. Makin mereka meninggikan diri untuk dipilih, makin aku tak menginginkan mereka dihidupku.

Aku dan dia sama-sama menyadari kekurangan masing-masing seperti apa. Kondisinya yang masih belum mampu memberikan sejuta materi atau sebuah kehadiran yang bisa sekejap saja aku dapatkan bila aku membutuhkan rengkuhan tubuhnya untuk menenangkanku.

Iya, dia memang menyebalkan, dengan bully-annya yang begitu tajam tepat sasaran namun aku mencintai caranya yang mengolok-olok kekurangan fisikku. Dia tunjukkan perhatiannya dengan cara seperti itu.
Dia egois, dengan seringkali memaksakan diri hanya untuk mendengarkan ocehanku dari telepon genggamnya padahal matanya sedang tidak bersahabat. Alhasil, saat aku asik berceloteh dia terlelap sesekali diseberang sana. Namun aku mencintai caranya merindukanku seperti ini.
Dia lalai, dengan seringkali mengabaikan perkataanku yang tidak ingin hal buruk terjadi padanya atau kadang dia tidak sadar sering mendiamkan apa yang aku sebutkan diselipan teks atau percakapan kami. Namun aku mencintai caranya merasa bersalah setelah menyadari hal ini.
Dia sering meninggalkanku untuk menakhlukkan puncak gunung manapun, menemui lebatnya hutan, atau melenyap bersama alam-alam yang dia jelajahi. Namun tiada sedikitpun aku meragukannya atau mengiyakan omongan-omongan mereka, karena aku tau dia kesana hanya untuk kepuasan diri dan persinggahan, sedangkan aku bukan hal yang demikian.
Dia pergi untuk kembali padaku, rumahnya, dimana ia melepaskan peluh rindu kepada tuannya yaitu aku, merebahkan lelah dengan nyanyian malamku jelang lelapnya, menceritakan segala kesempatan dimana maut seakan mendekat disaat-saat mencekamnya selama menikmati tanah dan udaranya dipetualangannya. Aku sedikit susah menarik nafas saat mendengarnya, tapi kenyataan bahwa dia selalu baik-baik saja membuat rongga dadaku kembali berlega diri.

Aku sudah tau keburukannya, sudah tau kekurangannya, sudah tau resiko-resikonya menjalani ini semua bersamanya. Seharusnya mereka tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk mengatakan hal-hal yang sudah aku ketahui. Harusnya sik, mereka lebih memanfaatkan waktu dengan memperbaiki diri.

Aku juga sudah tau dia seringkali minder, menyatakan dengan berani segala apa kelemahannya. Dan yang harus dia tau sekarang, semakin dia merasa tidak sempurna, aku semakin ingin menyempurnakannya.
Semakin dia tegaskan padaku bahwa ada banyak yang lebih dari dirinya, semakin tidak aku pedulikan mereka dan aku makin tertuju padanya.
Semakin dia menampakkan sisi buruknya, aku semakin ingin mencintainya dengan segala kekurangannya.

Ini lebih dari cinta, aku rasa, ini fase terbaik dari kesembuhan luka. Maha anugerah terindah dari segala lara yang pernah mendera. Sekarang waktunya aku memberitaukan pada berapa pasang mata yang rela menyempatkan untuk membaca, mungkin termasuk mereka yang aku bahas selain dirinya disini; aku mencintainya, apapun yang terjadi. Aku mencintainya, dari jarak 766km/476mil. Tak apa menurutmu aku naif, aku hanya berpegang pada apa yang aku yakini saat ini. Bila keyakinanku salah, itu bukan urusanmu.

Tentang Kecewa

Kecewa ? kenalin, itu teman akrabku. Aku sudah berkali-kali merasakannya, tidak terhitung. Harusnya sik udah kebal, tapi meskipun sudah sering, tetap saja waktu ngerasainnya, aku sakit. Seolah gong yang diam dipukul berkali-kali, tiada jera aku hadapinya. Sepertinya si Kecewa memang ingin jadi teman setiaku dibanding jadi temannya si harap. Kenapa demikian?

Kata orang, kecewa itu timbul karena berharap, kemudian harapan itu tidak sesuai kenyataannya. Makin besar harapan, makin dalam kecewanya. Dimana ada harap, disitu ada kecewa.
Iya memang benar apa yang dikatakan orang-orang, akupun merasakannya. Akan tetapi, ada hal lain yang aku rasakan tentang ini ; meskipun aku tidak berharap, si kecewa masih saja nongol. Kayak parasit, dia masih saja menempel lekat disekujurku, seperti betah menggerogoti disetiap celah-celah hatiku.

"Ah masa sik, gak berharap aja bisa kecewa? rada mustahil deh kayaknya!", itu komentar yang kurang lebih sama terlontar dari mulut-mulut orang sekitarku.
Lah, lalu apa yang aku rasain ini namanya jika bukan sebuah kekecewaan? Perasaan dimana aku terluka, padahal aku tidak berharap apapun padanya. Aku sudah tau akan seperti ini, akupun sudah sengaja tak ingin memikirkan apapun tentangnya yang sewaktu-waktu menimbulkan setitik asa. Sepertinya, usaha pencegahan itu semuanya gagal. Tetap saja aku bersedih, aku terluka, aku sakit.

Aku sudah pernah terlalu berharap akan sesuatu, akan banyak hal. Sudah pernah menggantungkan harapku itu setinggi langit pada seseorang. Namun saat harap itu terjawab dengan hal yang jauh dari angan, saat dia jatuh terhempas kencang begitu saja ke tanah, saat itu pula aku melihat dan menyadari, bahwa semua itu adalah hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku lupa kalo aku manusia, dan mereka juga manusia biasa. Aku sempat khilaf untuk lebih mempercayai sesamaku dibanding Penciptaku, Maha Penentu Semuanya. Aku telah salah memilih untuk mengimankan diri pada mereka-mereka yang belum tentu bisa menghargai segala harap dan yakinku.

Sejak saat itu pula aku putuskan untuk berhenti berharap. Tapi apa yang terjadi? Kecewa itu masih dan masih saja hadir! ya Tuhan, aku benci bila harus mengakui bahwa aku merasakan itu lagi. Aku sudah sangat jauh dari batas lelahku, tapi aku enggan berhenti untuk merindukan seseorang untuk diandalkan menjaga semuanya dariku, meskipun seharusnya aku hanya mengandalkan diriku sendiri dan tuhanku.

Sebentar..
Aku tersentak.

Saat kutulis semua tentang kecewaku ini, aku menyadari, yang ku kecewakan adalah ;
diriku sendiri..