Rintik
hujan jatuh dibawah langit mendung kota Bogor.
Aku mendengus kesal dan segera menutup
semua jendela kamarku. Kunyalakan AC
untuk menyegarkan udara disekitar, mematikan TV, lampu dan semua alat
elektronik lainnya. Aku berbaring diam, membelakangi jendela yang kututup tadi.
Diluar, hujan turun semakin deras.
Kini suasana yang tadinya begitu hening, mendadak berisik lantaran sambaran
petir yang seakan berlomba-lomba mendatangi rumahku, dan langitpun semakin
menghitam.
Bukan hanya ventilasi kamar yang
kututup, tapi kedua telingakupun ikut kusumpal dengan jari-jariku. Kupasang
kerut didahiku sambil menutup mata, seperti nenek-nenek yang sudah menua. Aku
merasa semakin menggila sendiri dikamar bercat krem ini. Kutarik selimutku
hingga menutup semua mukaku, lalu bersembunyi dibaliknya.
***
Sudah
lama aku membenci hujan, sangat tidak menyukainya. Bagiku hujan itu malapetaka,
kesialan, membuatku merasa makin sendirian. Entah mengapa aku bisa berpikiran seperti
ini.
Ican,
teman satu kampusku dari jurusan psikologi mengatakan, mungkin ini disebut phobia. Aku phobia hujan. Phobia ini timbul
akibat ketakutan dari trauma masa kecil atau masa laluku. Entah apapun
maksudnya itu, aku bahkan sudah lupa sama sekali akan masa kecilku, itupun
kalau memang
ada suatu trauma didalamnya. Soalnya yang aku ingat, saat kecil adalah masa
bahagia dihidupku tanpa rasa cemas ataupun takut.
Mungkin benar apa yang Ican katakan,
terutama soal teori Freud, bahwa
manusia seperti kita hanya bisa mengingat kejadian-kejadian saat berusia tiga
tahun, dan manusia lebih sering memilih untuk melupakan kejadian yang tidak
menyenangkan dari memori masa lalu kita. Entahlah.
Aku bersyukur deh gak ngambil jurusan kuliah yang sama
seperti Ican, jadi aku gak perlu memikirkan hal-hal yang seperti itu buat dipelajari detail. Teorilah, Freudlah, phobialah, atau apalah itu. Pokoknya
yang aku tahu, aku membenci yang namanya hujan, titik.
***
Hidupku sekarang bisa dibilang suatu
kebetulan yang tragis ya. Eh, kebetulan gak sih? kata orang sih, sudah rencana
Tuhan.
Seorang Melani, yang begitu membenci
hujan, malah tinggal dikota yang dijuluki Kota Hujan, Bogor! Aku cuma bisa
nahan kekesalan saat setiap
teman-teman atau keluargaku meledek. Malah aku disuruh tinggal digurun pasir,
sarap!
Nih kebetulan miris lainnya, aku malah
masuk universitas wilayah Depok, tetangganya si Bogor, yang sering disebut Kota
Petir karena jumlah petir terbanyak sepanjang tahun diseluruh dunia. Baca lagi
deh, seluruh dunia loh! Bayangin, sang hujan dan petir yang diibaratkan
saudaraan, gak bisa jauh, dimana ada hujan disitu ada si petir menari-nari. Ini
benar-benar parah buat aku. God,
nasibku gini banget ya.
Dari kebetulan-kebetulan ini, Ican
memberiku kembali sebuah teori psikologinya. Katanya justru dengan adanya aku
disini, bisa membantu aku untuk menghilangkan kebencianku terhadap hujan dan
saudara-saudaranya itu.
Hal ini disebut dengan istilah flooding
self, dimana kita mengatasi phobia akan sesuatu dengan berkutat pada
sesuatu yang kita benci sebanyak-banyaknya dan selama mungkin sampai berada
dititik batas.
Kalau aku tidak
suka hujan, maka aku harus berhujan-ria. Kalau aku tidak suka petir, aku harus
mendengar petir sampai gendang telingaku pecah!
Hahaha,
teori yang bagiku sangat-sangat aneh dan aku rasa Ican mulai gila dengan
menyuruhku melakukan hal-hal itu.
***
Aku pejamkan
mataku, namun masih dapat kulihat seberkas cahaya-cahaya putih yang terkadang
muncul tiba-tiba memantul disudut-sudut kamar. Kilatan itu beriringan dengan
suara "cetarrr...!!"
Sial.
Situasi seperti ini begitu menyiksa. Aku tindih mataku dengan bantal guling
kesayangan, karena bagiku memejamkan mata saja tidak cukup. Kuharap ada yang
bisa menolongku dari semua ini.
"Kamu
gak lagi tidur kan, Mel ?," tiba-tiba ada suara yang gak asing.
Nahkan bener,
si Ican udah duduk dikursi tepat disamping jendela yang kututup tadi.
"Udah
tahu, pake nanya!," sahutku ketus
karena suasana ini.
"Ya
iyalah tahu, gak mungkin kamu bisa tidur dengan situasi yang ‘gak banget’ buat kamu ini," Ican menjawabku
dengan nada menyindir.
"Ya
udah, gak usah sewot. Aku males banget deh ngapa-ngapain kalo lagi kayak
gini."
"Kamu
ini, segitu bencinya yah sama si hujan, dia kan gak ada salah sama kamu..
kasian si hujan.."
Entah mau
meledek atau menghibur, aku sedikit tersenyum mendengar celetukan si Ican
barusan.
"Kamu
benar-benar harus diterapi, Mel..," lanjutnya sambil mencubit hidungku.
Jangan heran dengan tingkah Ican, kami
sudah bersahabat sejak kecil. Jadi mama santai aja kalo Ican main kerumahku.
Malah menyuruh Ican buat masuk kekamar.
Agak
gak lazim sih memang, tapi bisa kalian banyangin kan, seakrab apa hubungan aku,
keluargaku, dengan Ican dan keluarganya? Aku rasa gak akan ada hal-hal negatif
yang terjadi diantara kami meski berlainan jenis.
***
Minggu sore,
langit Bogor kembali gelap, seolah sedang menunggu waktu yang tepat untuk
mengeluarkan serbuan air hujannya.
Rencana
nonton Taken 2 bersama Ican
sepertinya harus aku batalkan. Kesal sih, tapi gak mungkin buat seorang Melani
Ayuditya untuk pergi dengan situasi yang paling dibenci.
Kuputuskan
untuk menghubungi Ican, menunda semuanya besok, itupun kalau filmnya masih ada.
"Nomor
yang anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada diluar jangkauan...,"
Malah suara ini yang kudengar berkali-kali saat mencoba menelepon Ican. Sms
semuanya pending.
BBM pun gak ada yang terkirim.
Kan gak enak kalau Ican sudah kesini hujan-hujanan tapi ujungnya batal pergi.
Benar kan,
hujanpun turun dengan derasnya beserta pasukan petirnya susul-menyusul. Gak
tahu kenapa malah jadinya bete sendiri gak jadi pergi sama sahabatku satu-satunya ini.
Tanpa diduga,
HP ku berdering. Panggilan itu dari nomor yang daritadi gak bisa dihubungi. My-Ican. Begitulah namanya dikontak HP
dan BBMku.
"Ha..ha..halo...,"
suara lemah dan parau
itu terdengar dari seberang sana, membuatku lupa untuk memarahi sang empunya
nomor.
"Ican?,"
Aku tak bisa sembunyikan kekhawatiranku saat mendengar suaranya yang tak biasa
itu, "Kamu kenapa? Dimana sekarang? Kok suaranya gitu?,"
"Tolong,
Mel... Tolongin a..aku...,"
Detak
jantungku mendadak berdegup kencang, aku panik, "Aduh kamu kenapa can?
Apaan sih tiba-tiba gini, gak lucu! Ada apa ini?"
"Aku
persis didepan komplek ka..kamu... Tolong, Mel... Aku ditabrak orang...
Sa..sakiiitt...." suara Ican makin melemah dan merintih.
"Hah?
Ican yang bener ih kamu! Can...," suaraku makin melengking, kepanikan luar
biasa aku rasakan, ditambah sambungan telepon terputus begitu saja.
Dengan segera aku keluar kamar, turun kebawah
dan membuka pintu rumahku. Rasa panik ini makin bertambah saat kulihat hujan
dengan garangnya jatuh ke bumi.
"Aduh mampus deh!," Kutepuk
dahiku sendiri. "Mama...mah... payung mana sih ma? Mamaaa..."
Seorang wanita dengan rambut
disanggul tinggi muncul dengan berlari-lari kecil,
"Kenapa nak? Seumur-umur gak pernah kamu mencari payung?," tanya
mamaku keheranan.
Aku tak menjawab
apa yang mama tanyakan, aku merasa bukan waktu yang tepat buat menjelaskan
semuanya. Diotakku saat ini cuma Ican dan Ican. Tanpa pikir panjang, untuk
pertama kalinya, aku berlari kencang menerobos hujan, tanpa mau menunggu mama
mengambilkan payung untukku.
***
Aku merinding
ketika tanpa kusadari butiran-butiran air hujan itu mulai menerobos keseluruh
pakaianku. Pertama kali aku rasakan dingin yang menusuk, membasahi semua tubuh.
Namun tak kuhiraukan semuanya, aku teringat rintihan Ican ditelepon tadi, masih
terngiang-ngiang suara kesakitannya. Gimana kalau Ican parah? Gimana kalau dia
sekarang kesakitan dan belum ada seorangpun yang menolongnya apalagi kondisi hujan seperti ini ?
Semua hal buruk
merasuki pikiranku, sama seperti hujan yang merembes menembus pakaian
keseluruh badan ini.
"Ayo, Mel... sebentar lagi sampai
depan komplek... Terus maju, Mel.. Peduli setan sama hujan!," aku bergumam
sendiri, meyakinkan diriku sendiri.
Sesampainya disana, aku melongo. Tak
kulihat sosok Ican yang berlumuran darah dan sekarat seperti di film-film, atau
mobilnya yang ringsek hancur berantakan. Gak ada!
Jangankan Ican, tak ada seorangpun disana berdiri atau
beramai-ramai.
Lagi-lagi aku panik. Apa aku tadi salah dengar ? Apa Ican
sudah digotong ambulance? Atau ditolong warga sekitar ? Semua pertanyaan beruntun
berputar-putar dikepalaku.
Bodoh! Aku
benar-benar seperti orang gila ditengah hujan, aku sekarang kehujanan dan hanya
bisa bengong!.
Secara
mengejutkan, sebuah tangan menepuk pelan pundakku. Aku yang berdiri menunduk
perlahan memalingkan wajah kebelakangku, dan kutemukan Ican! Dia sehat wal
afiat tanpa luka sedikitpun. Benar-benar berbeda dari apa yang daritadi aku
bayangkan. Mataku sedikit terbelalak.
"Mel,
maafin aku yah. Mungkin caranya terlalu ekstrim, tapi aku yakin kamu pasti bisa
melawan kebencian dan ketakutan kamu terhadap hujan. Buktinya sekarang kamu
berada disini Mel...," Ican menjelaskannya sebelum aku sempat meluapkan
amarah, "Aku berharap dengan ini, kamu malah menganggap hujan itu memori
yang indah buat kamu. Makanya aku sengaja
berbohong seperti ini..."
Aku menangis. Perasaanku campur aduk.
Satu sisi aku sedih Ican membohongi aku, tapi disisi lain aku senang, dia
benar-benar gak ada kekurangan sesuatu apapun.
"Menurut
Pavlov, ini disebut teori Operant
Conditioning, jadi..."
"STOP !
Jadi kamu ngelakuin ini semua cuma karena kamu mau praktekin teori-teori gila
yang kamu pelajari itu? Kamu jadiin aku objek? Gila kamu, Can!,"
Aku menyela
pembicaraannya yang belum selesai. Air mataku makin deras mengalahi hujan yang
mulai berkurang menjadi rintik-rintik gerimis.
Tiba-tiba
Ican memelukku,
"Nggak, Mel... Aku ngelakuin semua
ini,
karena aku sayang sama kamu..."
Sebuah kalimat
yang dahsyat, meluluhkan segala amarah yang tadi sudah diubun-ubun. Pengakuan
yang membuat siapapun yang mendengarnya meleleh, termasuk aku yang selama ini
membenci hujan. Apalagi semua itu keluar dari mulut seorang Ican, ia menyatakan
itu dengan pandangan yang tulus, menunjukkan betapa ia peduli terhadapku lebih
dari seorang sahabat.
Aku menangis lagi, namun kali ini
tangisan bahagia. Kupeluk Ican erat ditengah gerimis. Gak peduli sama teori
apapun, sama teori siapapun, yang jelas aku senang, aku sangat menyukai Ican.
Dan sepertinya, aku mulai menyukai hujan…
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar