Sabtu, 20 Desember 2014

The Miracle Of Rain





Rintik hujan jatuh dibawah langit mendung kota Bogor.
          Aku mendengus kesal dan segera menutup semua jendela kamarku. Kunyalakan AC untuk menyegarkan udara disekitar, mematikan TV, lampu dan semua alat elektronik lainnya. Aku berbaring diam, membelakangi jendela yang kututup tadi.
          Diluar, hujan turun semakin deras. Kini suasana yang tadinya begitu hening, mendadak berisik lantaran sambaran petir yang seakan berlomba-lomba mendatangi rumahku, dan langitpun semakin menghitam.
          Bukan hanya ventilasi kamar yang kututup, tapi kedua telingakupun ikut kusumpal dengan jari-jariku. Kupasang kerut didahiku sambil menutup mata, seperti nenek-nenek yang sudah menua. Aku merasa semakin menggila sendiri dikamar bercat krem ini. Kutarik selimutku hingga menutup semua mukaku, lalu bersembunyi dibaliknya.
***
Sudah lama aku membenci hujan, sangat tidak menyukainya. Bagiku hujan itu malapetaka, kesialan, membuatku merasa makin sendirian. Entah mengapa aku bisa berpikiran seperti ini.
Ican, teman satu kampusku dari jurusan psikologi mengatakan, mungkin ini disebut phobia. Aku phobia hujan. Phobia ini timbul akibat ketakutan dari trauma masa kecil atau masa laluku. Entah apapun maksudnya itu, aku bahkan sudah lupa sama sekali akan masa kecilku, itupun kalau memang ada suatu trauma didalamnya. Soalnya yang aku ingat, saat kecil adalah masa bahagia dihidupku tanpa rasa cemas ataupun takut.







         

Mungkin benar apa yang Ican katakan, terutama soal teori Freud, bahwa manusia seperti kita hanya bisa mengingat kejadian-kejadian saat berusia tiga tahun, dan manusia lebih sering memilih untuk melupakan kejadian yang tidak menyenangkan dari memori masa lalu kita. Entahlah.
Aku bersyukur deh gak ngambil jurusan kuliah yang sama seperti Ican, jadi aku gak perlu memikirkan hal-hal yang seperti itu buat dipelajari detail. Teorilah, Freudlah, phobialah, atau apalah itu. Pokoknya yang aku tahu, aku membenci yang namanya hujan, titik.

***

          Hidupku sekarang bisa dibilang suatu kebetulan yang tragis ya. Eh, kebetulan gak sih? kata orang sih, sudah rencana Tuhan.
Seorang Melani, yang begitu membenci hujan, malah tinggal dikota yang dijuluki Kota Hujan, Bogor! Aku cuma bisa nahan kekesalan saat setiap teman-teman atau keluargaku meledek. Malah aku disuruh tinggal digurun pasir, sarap!
          Nih kebetulan miris lainnya, aku malah masuk universitas wilayah Depok, tetangganya si Bogor, yang sering disebut Kota Petir karena jumlah petir terbanyak sepanjang tahun diseluruh dunia. Baca lagi deh, seluruh dunia loh! Bayangin, sang hujan dan petir yang diibaratkan saudaraan, gak bisa jauh, dimana ada hujan disitu ada si petir menari-nari. Ini benar-benar parah buat aku. God, nasibku gini banget ya.
          Dari kebetulan-kebetulan ini, Ican memberiku kembali sebuah teori psikologinya. Katanya justru dengan adanya aku disini, bisa membantu aku untuk menghilangkan kebencianku terhadap hujan dan saudara-saudaranya itu. Hal ini disebut dengan istilah flooding self, dimana kita mengatasi phobia akan sesuatu dengan berkutat pada sesuatu yang kita benci sebanyak-banyaknya dan selama mungkin sampai berada dititik batas.
Kalau aku tidak suka hujan, maka aku harus berhujan-ria. Kalau aku tidak suka petir, aku harus mendengar petir sampai gendang telingaku pecah!






Hahaha, teori yang bagiku sangat-sangat aneh dan aku rasa Ican mulai gila dengan menyuruhku melakukan hal-hal itu.

***

          Aku pejamkan mataku, namun masih dapat kulihat seberkas cahaya-cahaya putih yang terkadang muncul tiba-tiba memantul disudut-sudut kamar. Kilatan itu beriringan dengan suara "cetarrr...!!"
Sial. Situasi seperti ini begitu menyiksa. Aku tindih mataku dengan bantal guling kesayangan, karena bagiku memejamkan mata saja tidak cukup. Kuharap ada yang bisa menolongku dari semua ini.
          "Kamu gak lagi tidur kan, Mel ?," tiba-tiba ada suara yang gak asing.
          Nahkan bener, si Ican udah duduk dikursi tepat disamping jendela yang kututup tadi.
          "Udah tahu, pake nanya!," sahutku ketus karena suasana ini.
          "Ya iyalah tahu, gak mungkin kamu bisa tidur dengan situasi yang gak banget buat kamu ini," Ican menjawabku dengan nada menyindir.
          "Ya udah, gak usah sewot. Aku males banget deh ngapa-ngapain kalo lagi kayak gini."
          "Kamu ini, segitu bencinya yah sama si hujan, dia kan gak ada salah sama kamu.. kasian si hujan.."
          Entah mau meledek atau menghibur, aku sedikit tersenyum mendengar celetukan si Ican barusan.
          "Kamu benar-benar harus diterapi, Mel..," lanjutnya sambil mencubit hidungku.
          Jangan heran dengan tingkah Ican, kami sudah bersahabat sejak kecil. Jadi mama santai aja kalo Ican main kerumahku. Malah menyuruh Ican buat masuk kekamar.








Agak gak lazim sih memang, tapi bisa kalian banyangin kan, seakrab apa hubungan aku, keluargaku, dengan Ican dan keluarganya? Aku rasa gak akan ada hal-hal negatif yang terjadi diantara kami meski berlainan jenis.

***

          Minggu sore, langit Bogor kembali gelap, seolah sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan serbuan air hujannya.
          Rencana nonton Taken 2 bersama Ican sepertinya harus aku batalkan. Kesal sih, tapi gak mungkin buat seorang Melani Ayuditya untuk pergi dengan situasi yang paling dibenci.
          Kuputuskan untuk menghubungi Ican, menunda semuanya besok, itupun kalau filmnya masih ada.
          "Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada diluar jangkauan...," Malah suara ini yang kudengar berkali-kali saat mencoba menelepon Ican. Sms semuanya pending.
BBM pun gak ada yang terkirim. Kan gak enak kalau Ican sudah kesini hujan-hujanan tapi ujungnya batal pergi.
          Benar kan, hujanpun turun dengan derasnya beserta pasukan petirnya susul-menyusul. Gak tahu kenapa malah jadinya bete sendiri gak jadi pergi sama sahabatku satu-satunya ini.
          Tanpa diduga, HP ku berdering. Panggilan itu dari nomor yang daritadi gak bisa dihubungi. My-Ican. Begitulah namanya dikontak HP dan BBMku.
          "Ha..ha..halo...," suara lemah dan parau itu terdengar dari seberang sana, membuatku lupa untuk memarahi sang empunya nomor.
          "Ican?," Aku tak bisa sembunyikan kekhawatiranku saat mendengar suaranya yang tak biasa itu, "Kamu kenapa? Dimana sekarang? Kok suaranya gitu?,"














          "Tolong, Mel... Tolongin a..aku...,"
          Detak jantungku mendadak berdegup kencang, aku panik, "Aduh kamu kenapa can? Apaan sih tiba-tiba gini, gak lucu! Ada apa ini?"
          "Aku persis didepan komplek ka..kamu... Tolong, Mel... Aku ditabrak orang... Sa..sakiiitt...." suara Ican makin melemah dan merintih.
          "Hah? Ican yang bener ih kamu! Can...," suaraku makin melengking, kepanikan luar biasa aku rasakan, ditambah sambungan telepon terputus begitu saja.
          Dengan segera aku keluar kamar, turun kebawah dan membuka pintu rumahku. Rasa panik ini makin bertambah saat kulihat hujan dengan garangnya jatuh ke bumi.
"Aduh mampus deh!," Kutepuk dahiku sendiri. "Mama...mah... payung mana sih ma? Mamaaa..."
Seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi muncul dengan berlari-lari kecil, "Kenapa nak? Seumur-umur gak pernah kamu mencari payung?," tanya mamaku keheranan.
Aku tak menjawab apa yang mama tanyakan, aku merasa bukan waktu yang tepat buat menjelaskan semuanya. Diotakku saat ini cuma Ican dan Ican. Tanpa pikir panjang, untuk pertama kalinya, aku berlari kencang menerobos hujan, tanpa mau menunggu mama mengambilkan payung untukku.

***

          Aku merinding ketika tanpa kusadari butiran-butiran air hujan itu mulai menerobos keseluruh pakaianku. Pertama kali aku rasakan dingin yang menusuk, membasahi semua tubuh. Namun tak kuhiraukan semuanya, aku teringat rintihan Ican ditelepon tadi, masih terngiang-ngiang suara kesakitannya. Gimana kalau Ican parah? Gimana kalau dia sekarang kesakitan dan belum ada seorangpun yang menolongnya apalagi kondisi hujan seperti ini ? Semua hal buruk merasuki pikiranku, sama seperti hujan yang merembes menembus pakaian keseluruh badan ini.

          "Ayo, Mel... sebentar lagi sampai depan komplek... Terus maju, Mel.. Peduli setan sama hujan!," aku bergumam sendiri, meyakinkan diriku sendiri.






Sesampainya disana, aku melongo. Tak kulihat sosok Ican yang berlumuran darah dan sekarat seperti di film-film, atau mobilnya yang ringsek hancur berantakan. Gak ada!
Jangankan Ican, tak ada seorangpun disana berdiri atau beramai-ramai.
Lagi-lagi aku panik. Apa aku tadi salah dengar ? Apa Ican sudah digotong ambulance? Atau ditolong warga sekitar ? Semua pertanyaan beruntun berputar-putar dikepalaku.
Bodoh! Aku benar-benar seperti orang gila ditengah hujan, aku sekarang kehujanan dan hanya bisa bengong!.
          Secara mengejutkan, sebuah tangan menepuk pelan pundakku. Aku yang berdiri menunduk perlahan memalingkan wajah kebelakangku, dan kutemukan Ican! Dia sehat wal afiat tanpa luka sedikitpun. Benar-benar berbeda dari apa yang daritadi aku bayangkan. Mataku sedikit terbelalak.
          "Mel, maafin aku yah. Mungkin caranya terlalu ekstrim, tapi aku yakin kamu pasti bisa melawan kebencian dan ketakutan kamu terhadap hujan. Buktinya sekarang kamu berada disini Mel...," Ican menjelaskannya sebelum aku sempat meluapkan amarah, "Aku berharap dengan ini, kamu malah menganggap hujan itu memori yang indah buat kamu. Makanya aku sengaja
berbohong seperti ini..."
Aku menangis. Perasaanku campur aduk. Satu sisi aku sedih Ican membohongi aku, tapi disisi lain aku senang, dia benar-benar gak ada kekurangan sesuatu apapun.
          "Menurut Pavlov, ini disebut teori Operant Conditioning, jadi..."
          "STOP ! Jadi kamu ngelakuin ini semua cuma karena kamu mau praktekin teori-teori gila yang kamu pelajari itu? Kamu jadiin aku objek? Gila kamu, Can!,"
Aku menyela pembicaraannya yang belum selesai. Air mataku makin deras mengalahi hujan yang mulai berkurang menjadi rintik-rintik gerimis.
          Tiba-tiba Ican memelukku,
"Nggak, Mel... Aku ngelakuin semua ini, karena aku sayang sama kamu..."
Sebuah kalimat yang dahsyat, meluluhkan segala amarah yang tadi sudah diubun-ubun. Pengakuan yang membuat siapapun yang mendengarnya meleleh, termasuk aku yang selama ini membenci hujan. Apalagi semua itu keluar dari mulut seorang Ican, ia menyatakan itu dengan pandangan yang tulus, menunjukkan betapa ia peduli terhadapku lebih dari seorang sahabat.
          Aku menangis lagi, namun kali ini tangisan bahagia. Kupeluk Ican erat ditengah gerimis. Gak peduli sama teori apapun, sama teori siapapun, yang jelas aku senang, aku sangat menyukai Ican. Dan sepertinya, aku mulai menyukai hujan…

*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar